Tuesday, March 29, 2005

HELP! EARTHQUAKE IN NIAS!

More than 1000 people has been killed in an earthquake last night. Volunteer is NEEDED! Contact me and let's work together!
Email me at : dissi_kaydee@yahoo.com.
ASAP!

Any info about the charity will be updated SOON!

Friday, March 18, 2005

Saya hanya ingin cerita panjang

Saya hanya ingin cerita panjang

Saya cuma ingin cerita tentang beberapa hal penting yang terjadi dalam kehidupan saya beberapa hari ini.

----
He just leaving...today, to pursue his post degree in Aussie for a year. Akhirnya waktu untuk berpisah datang juga. Memang setahun bukan waktu yang lama. Tapi...saya merasa, bahwa saya tidak akan bisa bertemu dirinya lagi...Entah, mungkin kehidupan kita berdua akan jauh berbeda pada tahun berikutnya. Entah apa, tapi saya seperti meyakininya saja.

Terus terang, kepergiannya bukan sesuatu yang saya harapkan, setidaknya tidak secepat itu. Bayangkan saja, Senin malam kemarin ia baru mendapatkan visanya setelah berminggu-minggu waiting like in hell. Sedangkan Jumat sore sudah harus meninggalkan Indonesia, karena Senin depan sudah harus mengikuti kuliah. Itupun ia terpaksa kehilangan 2 minggu dari awal kuliah seharusnya, karena masalah visa tadi. Entah diakui atau tidak, dalam hati saya belum siap kehilangan dirinya.

Akhirnya, intensitas pertemuan kami sebelum ia pergi, benar-benar dimaksimalkan. Saya menyediakan waktu untuknya, dan dia menyediakan waktunya untuk saya. Saya hanya punya waktu tiga hari sebelum ia berangkat. Dan saya bersyukur, ia memilih saya untuk menemaninya. Dan setiap harinya jadi begitu berarti bagi saya. Meski hanya 3 hari, saya menikmati betul menemani hari-harinya yang terakhir. Dan entah mengapa, perasaan saya kepadanya sedikit mulai terbuka, meski saya tidak mengatakan padanya. Mungkin karena rasa bersalah saya dulu, membuat saya ingin membuatnya bahagia kali ini. Setidaknya, selama ia pergi, ada yang akan ia ingat dari diri saya.

Di waktu yang sempit itu, saya berusaha meluangkan hati dan perasaan saya padanya lebih lagi, juga perhatian saya. Tidak seperti yang dulu saya lakukan padanya. Saat dimana saya sering tak bereaksi mendengar setiap komplainnya. Komplain kepada apapun yang tidak berjalan dengan semestinya di Indonesia ini, yang bagi saya semua itu hal biasa. Atau komplainnya melihat saya beraksi biasa saja terhadap hal yang tidak semestinya terjadi pada saya. Atau seringnya saya membantah apa yang dikatakannya, yang membuatnya naik pitam. Atau ketidaksinkronan tingkat pemahaman saya dan dirinya terhadap suatu masalah, yang membuat kita sering terlibat verbal fight. Atau berbagai kesalahpahaman yang terus terjadi karena saya kesulitan memahami dirinya, dan ia tidak mengerti jalan fikiran saya. Tapi begitulah.

Semua hal yang saya dongkolkan dari dia, kini hilang bersama kepergiannya. Yang saya ingat hanya hari ini, hari kemarin, dan hari sebelum kemarin. 3 hari yang membuat saya sekarang bisa merasakan cinta padanya, sayang padanya, dan rindu padanya. Tapi tentu saja semua itu tidak ada gunanya lagi saat ini, bahkan juga nanti. Karena saya sadar, kesempatan saya bersama dirinya sudah habis, bersamaan saat saya memutuskan secara sepihak hubungan kami. Mungkin ada kalanya cinta tidak datang semestinya. Mungkin sama seperti perasaan saya saat ini. Mungkin saja bukan cinta, melainkan hanya rasa kehilangan yang akan hilang sejalan dengan waktu. Saya tahu ia pergi untuk masa depannya, dan saya juga tidak berniat menahan dirinya untuk tidak pergi. Saya bahkan tidak berniat menahan jika ia memulai kehidupan baru dengan orang lain, meskipun saya inginkan itu.

Satu hal, saya mensyukuri, hubungan ini berakhir dengan baik-baik saja. Saya dan dia masih tetap berteman baik, sama seperti saat sebelum hubungan pertemanan kita berubah menjadi lebih dekat. Tidak seperti yang dikatakan orang pada umumnya, bahwa mantan pacar tidak akan mungkin menjadi teman baik. Tapi itu lah yang terjadi diantara kita. Sebelum ini, saya dan dia adalah teman baik, setelahnya, saya bersyukur, saya tidak kehilangan dia sebagai teman dan sahabat seperti yang semula saya takutkan.

Setelah mengalami masa-masa pahit diperlakukan tidak pantas oleh saya, saya bersyukur ia mau berbesar hati memaafkan saya, mau menerima telfon saya atau mau menemani saya. Bahkan sebenarnya, bersedia menemui saya saja, saya sudah bersyukur. Kalau saya ingat-ingat perlakuan saya, perkataan saya, dan sikap saya padanya dulu, mungkin sudah sewajarnya jika ia tidak mau bertemu saya lagi, bahkan berurusan dengan saya lagi. Saya sudah pasrah waktu itu. Tapi saya tidak bisa mengatasi kespontanan saya untuk tidak berpikir panjang, sehingga apa yang saya ucapkan dan saya lakukan, kelihatan menyakitkan. Padahal maksud saya bukan itu. Padahal, itu terjadi karena saya kesulitan menghadapi dirinya yang begitu jauh tingkat pemahaman dan ekspektasinya dibandingkan diri saya sendiri. Dan saya kelelahan saja waktu itu. Di tambah hal-hal lain yang tidak perlu lagi saya bahas.

Entah saya mencintai dirinya atau tidak. Tapi yang jelas, saya kehilangan dirinya. Mungkin saya cuma membesar-besarkan hal ini, mungkin saja. Tapi saya tidak peduli. Sudah lama saya tidak merasa seperti ini. Mengasihani diri sendiri dan menjadikannya sedramatis mungkin sehingga membuat saya menangis. Apakah saya gila? Tidak juga. Hanya, saya ingin kembali kekanak-kanakan saja. Kadang melupakan sebentar bahwa saya sudah dewasa dan seharusnya berpikir jernih, melegakan bagi saya. Karena saya tidak bisa berteriak atau bertindak gila-gilaan saat saya marah. Saya hanya bisa menangis. Dan saya senang, dengan menangis saya bisa semakin menikmati kesendirian saya, meskipun tidak seharusnya saya seperti itu. Seperti tidak mensyukuri keindahan dan kenikmatan lain yang Tuhan beri. Tapi saya ingin sekali-sekali mendramatisirkan hidup saya. Tentu lebih menarik. Atau bodoh, saya tidak mau pikirkan itu.

Kembali ke masalah tadi. Hmmm...saya jadi ingat dirinya lagi. Sedang apa dia sekarang ya? Mungkin sedikit terlelap setelah melewati hari ini yang begitu menyesakkan. Fiuhh, kadang-kadang sesuatu terjadi di luar kendali kita, di saat-saat penting seperti ini. Dan itu terjadi padanya siang ini sebelum keberangkatannya ke airport. Dan itu membuat saya sesak nafas memikirkan dirinya seharian ini. Ah, andai saja bisa saya bujuk ia untuk berdoa, tentu tidak sesulit ini...tapi apalah artinya doa, jika ia tidak percayai hal itu?

Tapi ada yang membuat saya bahagia di saat-saat terakhir bersamanya. Meski tidak kentara, saya bisa menunjukkan bahwa saya sekarang punya hati, punya perasaan padanya. Bukan berarti dulu saya tidak pakai hati bersama dirinya. Hanya saja, dulu, setiap kali saya bersamanya, saya selalu ingin pergi darinya, saya ingin lari saja rasanya. Hati saya, hati saya yang ingin lari darinya. Hati saya yang tidak ingin jatuh cinta padanya. Hati saya yang menolak kehadiran dirinya, bahkan sedikitpun. Hati saya yang hanya memanggil-manggil nama seseorang yang ingin saya lupakan. Padahal saya ingin hidup dalam realita dengan menerima dirinya dalam hidup saya. Tapi ternyata hati saya yang menolak keras.

Dan sekarang, setelah semua kemungkinan untuk berlanjut ke tahap serius sudah tertutup, hati saya begitu mudah terbuka untuknya. Meski ia tidak bisa melihat diri saya yang sebenarnya, saya yang tahu diri saya yang sebenarnya pasti menyadari, bahwa kini sudah ada DUA pihak yang semula bertentangan dalam diri saya, kini telah sepakat mufakat, yaitu hati dan fikiran saya. Dan itu sangat melegakan, karena saya jadi merasa jujur padanya. Tidak seperti dulu. Saya memang tidak pernah membohongi dirinya atau berkhianat di belakangnya, tapi tetap saja, ketidakjujuran saya mengatakan yang sebenarnya, itu juga berat. Keadaan saya yang memberikan sedikit hati saya, padahal ia memberikan seluruhnya, sungguh juga tidak adil baginya. Karena keadaan seperti itulah yang membuat saya bertindak 'unbelievable' dan 'selfish' seperti katanya.

Sekarang, saat hati dan kepala sudah sepakat, saya merasa utuh hadir dalam dirinya. Merasa jujur pada diri saya juga pada dirinya. Tidak membohongi hati saya dan hatinya. Belakangan saya merasa bahagia saat punya kesempatan bertemu dirinya, atau bicara dengannya. Bahagia saat mendengarkan komplainnya, keluhannya, bahkan kemarahannya, Bahagia saat melihat ia bisa tersenyum pada akhirnya. Bahagia bisa menemaninya belanja dan memilihkan baju-baju yang akan ia beli. Bahagia tetap membiasakan kata 'kamu' dalam percakapan kita. Bahagia bisa berbagi satu minuman lagi. Bahagia mengirimkan atau menerima pesan bahwa masing-masing sudah sampai di rumah. Bahagia mengetahui ia bersedia melewatkan waktu sempitnya bersama saya, dengan mengajak saya menonton film dua hari berturut-turut di tempat favoritnya di Djakarta Theater, dan akhirnya menutup malam terakhir dengannya tadi malam, dengan makan di tempat favorit saya di seafood Fatmawati. Ah, saya bahagia bersamanya, dan saya bahagia jika bisa membuatnya bahagia.

Mungkin benar apa yang dikatakan orang, bahwa sesuatu baru terasa berharga jika kita sudah kehilangan hal tersebut. Meski saya sudah tahu arti dirinya, saat ini, arti itu semakin berarti rasanya.

Kamis malam kemarin, hari terakhir saya bersamanya. Setelah mengantar ia sampai ke rumahnya, tiba-tiba saja saya tidak bisa menahan luapan hati yang terasa sesak. Akhirnya saya menangis sepanjang jalan sampai tiba di depan rumah saya. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya berkesimpulan dalam hati, mungkin ini sebabnya mengapa hati saya dulu sulit sekali membuka diri untuknya. Karena, sedikit saja perasaan saya terbuka dan terlibat dengan cinta, pendirian dan keyakinan saya yang semula kokoh, bisa berubah tak berarti.

Setiap melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi saya, setidaknya sesuai keinginan saya, saya akan buru-buru menyesali itu semua, menanyakan sesuatu yang tidak perlu ditanyakan kepada Tuhan. Seperti dalam hal ini, saya pasti menanyakan mengapa Tuhan tidak menciptakan kemudahan sehingga saya dan dirinya bisa bersama. Mengapa sesuatu yang kelihatan sudah perfect bagi saya, belum juga bisa saya miliki karena Keputusan-Nya. Toh di luar perbedaan kita, saya bisa beradaptasi dengan dirinya. Dia juga begitu. Setidaknya dia pernah ingin menjalaninya dulu itu, sebelum saya memutuskan untuk menyerah dan mundur. Ini yang membuat saya menangis.

Karena, sebagai manusia saya ingin mencintai dan dicintai. Tapi saya pun merasa, cinta Tuhan kepada saya sudah terbukti melebihi apapun. Dan teguran-teguran Tuhan kepada saya tidak pernah Ia turunkan dalam bentuk hukuman. Teguran Tuhan membuat saya bercermin kembali terhadap apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini. Teguran Tuhan lebih membuat saya terharu, menangis, dan malu terhadap sikap-sikap saya pada-Nya. Dan ketidakmampuan saya jatuh cinta padanya, saya anggap 'a bless' dari Tuhan. Karena cinta membuat saya lemah dan terhuyung. Dan saya tidak mau lagi seperti itu.

Jadi, bagaimana mungkin saya bisa membandingkan cinta yang saya dapatkan di dunia, dengan Cinta yang saya rasakan langsung dari Tuhan? Itu yang membuat saya menangis sepanjang jalan. Karena saya tidak bermaksud menyesali keputusan saya menyelesaikan hubungan ini, dengan menggugat Tuhan. Karena saya tidak ingin Tuhan menganggap saya tidak pandai bersyukur dengan segala perlindungan dan keselamatan yang Ia berikan. Tapi saya juga tidak bisa menolak perasaan saya yang tiba-tiba tumbuh padanya. Menyadari saya tidak akan mungkin bersamanya jika bukan karena Tuhan Menghendaki begitu, saya menjadi semakin sedih.

Saya baru mengerti mengapa dulu sulit sekali jatuh cinta padanya meskipun saya berusaha keras. Karena jika sudah sejak di awal hubungan ini saya jatuh cinta padanya, tentu cinta saya pada Tuhan akan semakin luntur. Saya akan semakin melanggar janji-janji yang pernah saya ikrarkan pada-Nya. Atau melupakan keinginan saya yang hakiki, atau bahkan ungkapan cinta saya dan tangis saya pada-Nya. Tentu saya akan mudah melupakan saat-saat indah saya bersama Tuhan, yang tentu saja pengalamannya jauh berbeda dengan saat-saat dengan siapapun yang pernah hadir dalam kehidupan saya. Ironis memang, sesuatu yang baik dan bersumber dari Tuhan, ternyata begitu mudah menguap jika hati dibutakan keinginan diri sendiri. Begitu mudah janji dilupakan. Namun tidak demikian jika kita jatuh cinta pada manusia. Setiap hari bersamanya pun saya ingat setiap detilnya.

Entah kenapa saya menangis, dan untuk siapa sebenarnya tangisan itu. Untuk Tuhan, dirinya, atau diri saya. Yang pasti, yang saya rasakan semalam dengan air mata yang tidak henti-hentinya itu, saya tidak ingin dibingungkan lagi oleh pertanyaan-pertanyaan, kepada siapa cinta seharusnya diberikan. Atau dibimbangkan dengan pilihan antara mencintai keinginan diri sendiri atau mencintai Tuhan. Karena saya sudah mendapatkan jawabannya.

Saya menangis karena saya tahu saya lemah, dan saya berharap Tuhan mau mengerti itu, dan tidak menghukum saya. Saya bagai ingin meyakinkan Tuhan bahwa saya sungguh-sungguh mencintai-Nya, meskipun kadangkala saya tidak bisa tegas berdiri dan membuktikan cinta saya. Saya menangis karena saya lemah oleh rasa cinta kepada manusia, tapi saya juga ingin menunjukkan cinta saya pada-Nya. Bahwa cinta-Nya tidak terbagi, meskipun cinta pada manusia membuat saya goyah dan ingin melupakan janji-janji saya pada-Nya.

Entah apakah Tuhan percaya akan hal ini, tentu Ia Maha Tahu yang tersembunyi. Saya hanya ingat bahwa saya berdoa, meminta tepatnya, bahwa jika Tuhan sudi mengabulkan sesuatu yang saya inginkan ada padanya, semoga Tuhan bersedia mempertemukan saya kembali padanya. Karena saya sudah lelah mencari, karena saya sudah tidak ingin menunggu, karena saya ingin berhenti pada fase baru hidup saya. Dan saya melihat beberapa hal yang saya inginkan ada padanya. Mungkin ada perbedaan karakter dan sifat di antara kita, tapi itu semua tidak ada artinya, dibandingkan dengan hal-hal mendasar yang ada padanya. Meski cuma satu darinya yang tidak bisa saya miliki seutuhnya, yaitu iman.

Saya baru saja memesan mie goreng di warung seberang kantor saya untuk makan malam, ketika saya menerima sms darinya; "About boarding in 5 minutes. Do we have time to talk?"

Tidak menunggu lama lagi saya bergegas beranjak sambil meneriakkan dalam hati; "YA! SAYA TENTU SAJA PUNYA WAKTU UNTUK BISA BICARA WALAU SEBENTAR DENGAN KAMU!"

Dan saya pun berlari secepat yang saya bisa, meloncati setiap tangga hingga ke lantai 3, untuk menelfonnya. Saya sadar, saya hanya punya waktu saat ini saja, karena hari esok pasti sudah berbeda bagi diri kita masing-masing. Dan saya bahagia melakukannya. Saya bahagia merasakan bahagia seperti ini. Rasa yang sama yang baru saya alami 3 hari ini.

Berbasa-basi sedikit, kemudian ia hanya bilang;
"Saya berangkat sekarang ya. Thanks ya for everything. You've been nice to me."

Ouch! Saya tercekat, this is it. Benar-benar tidak ingin saya mendengar kalimat ini. Entah apakah saya sok bersikap melankolis atau apa, tapi saya merasa saya tidak akan bisa 'bertemu' dirinya lagi, atau sedekat sebelumnya. Rasanya tembok di depan kita terasa semakin terentang.

Dan saya tidak punya kesempatan lebih lama lagi, karena sms-nya terus berbunyi dan dia harus membalas itu semua. So ia meminta saya menelfon kembali 10 menit lagi, sebelum last call untuk boarding. Akhirnya saya kembali turun ke bawah dan bermaksud menyelesaikan mie goreng yang mungkin sudah kematangan. Saya pasang alarm agar sebelum 10 menit saya sudah selesaikan makan malam saya.

Tapi akhirnya saya berubah fikiran. Mie goreng dibungkus, dan saya kembali ke atas. Dalam waktu yang sempit itu, saya tidak mau kehilangan kesempatan untuk bisa menelfonnya lagi. Dan saya mau ada di dekatnya, saat semua kemungkinan bisa terjadi. Dan benar saja, sebelum 10 menit datang, dia sudah sms, tapi semakin membuat saya sedih. Sudah tidak ada kesempatan lagi, karena dia harus pergi...

Mungkin bagi orang lain ini bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Toh ada internet, toh ada MMS, toh ada HP, toh ada VoIP. Tapi entah mengapa, kepergiannya kali ini akan berarti selamanya bagi saya. Maksud saya, kami berdua kini memiliki dua kehidupan yang semakin jelas membawa diri kita semakin jauh. Ia dengan mimpinya, dan saya dengan mimpi saya. Terkadang saya berharap, sesuatu akan menyatukan diri kita kembali, setidaknya saya bersedia mencobanya lagi. Tetapi, kecuali dengan ijin Tuhan, saat ini, saya memang tidak bisa berjalan bersamanya, dan apalagi dia.

Saya membayangkan reaksinya kalau saya beritahu tulisan panjang ini padanya. Tentang perasaan saya padanya. Mungkin ia tidak peduli, atau mungkin peduli. Tapi seorang rasionalis seperti dirinya hanya melihat realita yang terbuka di hadapannya, sedangkan saya menutup peluang itu. Saya tahu, ia tidak mau disakiti lagi, atau dilambungkan untuk dijatuhkan lagi. Saya juga tidak bermaksud menjanjikan sesuatu yang tidak bisa saya tepati, atau memberikan sesuatu yang tidak saya inginkan. Jadi, biarkan saja semua begini, sampai ujung dunia berputar mengelilingi hidup saya.

Dan jika ia akhirnya mengetahui tulisan saya ini, meski tahu tidak akan merubah apapun, saya hanya ingin ia tahu bahwa dirinya berarti banyak bagi saya. Baik sebagai teman, dan bahkan lebih dari itu. Karena bersamanya saya semakin belajar tentang hidup saya, dimana saya berada, dan kemana saya akan melangkah. Selama ini saya hanya memikirkan kehidupan spiritual saya, tapi terus bingung terhadap keadaan realitas saya di dunia. Bahwa hidup itu harus diperjuangkan, bukan diterima begitu saja. Bahwa hidup itu melakukan sesuatu yang konkrit, bukan hanya berakhir pada mimpi.

Dia mendorong saya untuk meningkatkan kualitas diri saya, kemampuan saya, produktivitas saya. Dia mendorong saya untuk mempelajari bahasa kitab suci agar saya lebih mengerti dan paham tentang keyakinan saya. Dia mengajari saya banyak hal, memberitahukan dari masalah mesin mobil hingga teknologi, dari memasak hingga tenis. Dia mengajak saya ke bengkel atau hunting hardware dari Ratu Plaza hingga Mangga Dua, mengenalkan saya banyak hal-hal baru dan ilmu-ilmu baru. Dia melibatkan saya dalam setiap kehidupannya.

Ah, betapa hari-hari saya bersamanya tidak ada yang saya sesali. Meskipun kadang saya tidak tahan jika ia sudah marah dan bahkan tega memarahi saya. Tapi sekarang saya hanya bisa tersenyum jika mengingat itu semua.

Saya memang masih bisa berhubungan dengannya kapanpun. Tapi saya tahu, ia akan sangat sibuk nantinya. Belum jika ia harus bekerja nanti, belum jika ia akhirnya bertemu dengan seseorang. Berat, tapi saya harus menerima itu. Sudah saatnya saya tidak mengganggunya lagi. Saya toh juga harus mencari jalan saya sendiri yang sudah saya mulai jauh-jauh hari.

----

Dear L, meskipun saya masih bingung mendefinisikan perasaan saya padamu hingga saat ini, tapi yang pasti, saya kehilangan kamu dan tidak ingin kehilangan kamu sebenarnya. One more thing, the moment we spent together, was all wonderful. Hope you feel the same. Good luck with your future ya...