Saturday, April 09, 2005

A week of absence

A week of absence

Yipee...will have a chance to travel again. Monday early will fly to Makassar, South Sulawesi for a week. Actually for working, but fair enough to re-charge my battery, after such a long time have been tied up in editing room. Though I know I'd spend some exhausted days, as I go only with the cameraman and with all those heavy equipments, but still, it sounds nice.

Will profile Mak Copong Daeng Rannu, a Pakarena Dancer, and Daeng Mile, a Percussion musician, that will be played in the next episodes of Maestro. Both are live in Gowa, 20 kms from Makassar, the capital city. Despite the fact that I'd have a difficult communication as they can't speak Indonesian (!), still I feel so excited to have another experience and story to tell.

Actually, I'm excited to be able to go to Tana Toraja, to see some beautiful places that I could only see on television. The last time I went to Ujung Pandang, I didn't have enough time to visit some places, even around Makassar. I wish I could manage to finish my works the first 4 days and the other day for vacation! And I wish there will be someone who is kind enough to take us going around the city! *wishing a wish*

But anyway...the most important thing is, I wish there wouldn't be a bad weather or any kind of thing that relate to natural disaster. Something that quite frightening me recently. Uh boy, hope we'd have a good time during this whole 'vacation'! Fiuhhh...

Monday, April 04, 2005

Apakabar Nias?

Apa kabar Nias??

"Gempa-gempa kecil masih terus terjadi. Tidak lama, sekitar beberapa detik saja. Mohon info perkembangan tentang hal ini, disini ngga ada TV/berita-berita up to date. Banyak isu-isu yang ngga jelas, bikin masyarakat makin stress. Tidak ada upaya penerangan/informasi dari pemerintah."

Itu berita dari teman saya, Jeffry, dari Nias melalui SMS tertanggal 2 April 2005, pukul 21:25 WIB. Saya balas SMS-nya dan menanyakan bagaimana kondisi masyarakat disana. Saya tidak tahu kalau dia memutuskan untuk pulang ke Nias pada saat genting seperti ini. Entah apakah anak-istrinya turut dibawa atau tidak, tapi hingga saat ini, belum ada kabar apapun lagi tentang dirinya atau keluarganya disana. Berita yang saya dengar semakin simpang siur dan semua menakutkan. Helikopter Australia yang jatuh dan menewaskan 9 relawan, kapal Jerman yang hilang dan hampir mengkaramkan 3 orang ABK-nya, eksodus besar-besaran karena adanya isu tsunami, mayat-mayat dan korban yang belum bisa dievakuasi karena alat yang terbatas, sejumlah penjarahan karena perut lapar. Dan belum lagi berita gempa berkekuatan 6 SR di Manado. Dan saya disini seperti cacing kepanasan. Hati saya gelisah, ingin menolong tapi tidak tahu apa dan bagaimana.

Saya geram terhadap kelambanan pemerintah yang kelihatannya sibuk wara-wiri koordinasi sana-koordinasi sini, tapi prakteknya di lapangan rakyat tidak tertangani. Padahal bencana di Aceh masih segar di kepala, bukan? Apakah kehancuran yang sedemikian hebatnya kemarin itu belum bisa membuat pemerintah belajar bagaimana menangani suatu masalah? Apakah masih diperlukan birokrasi bertele-tele, lempar koordinasi-lempar tanggung jawab, sementara jumlah korban terus bertambah, dan wabah penyakit mengancam. Belum lagi butuh biaya bergulung-gulung untuk pembangunan kembali daerah bencana. Belum lagi antisipasi terhadap bencana-bencana yang mungkin muncul di waktu dan tempat yang lain. Bukan bermaksud untuk memperuncing SARA, dengan banyaknya lost generation karena hilangnya anak-anak serta kesenjangan pendidikan yang semakin lebar antara pulau Jawa dan non-Jawa, kira-kira, berapa puluh tahun dan berapa karung uang harus diperlukan untuk membangun daerah-daerah ini kembali?

Bagi saya yang hidup jauh di pulau Jawa ini, menghadapi bencana-bencana yang terjadi sejak awal tahun ini, seperti menghadapi mimpi-mimpi tadi malam yang akan terlupa esok harinya. Mungkin sempat diceritakan dengan rekan atau sahabat, atau di warung kopi yang nyaman ber-ac. Tapi, seperti semudah menyeruput aroma kopi, berita bencana dan kematian seperti semakin biasa di telinga kita. Dalam kamus kehidupan kita, masih banyak urusan lain yang harus diperjuangkan. Mungkin perut sama laparnya, anak sama tidak sekolahnya, atau masalah handphone yang perlu ganti merk, tapi disini, kita dihadapkan dengan arti perjuangan yang lain. Sebuah perjuangan yang sungguh berbeda bentuk dan bobotnya, dengan makna perjuangan bagi masyarakat Nias, Aceh, Papua, atau manapun di negeri ini.

Dan tidak saja nasib Jeffry yang saya cemaskan saat ini, saya juga mencemaskan negeri ini. Sangat.