Tuesday, May 23, 2006

tietheknot

Ketika Tuhan berkata;

"Jadilah, maka jadilah..."

Ketika itulah kami bertemu...

(Jakarta - Bandung, May 15, 2006 )

- - - - - - - - - - - - -
Going to tie the knot insya Allah on Sunday, June 11, 2006.
Wish me luck!

Wednesday, May 17, 2006

I'm GETTIN' married VERY soon! Yaiyyy!!!

Finally....Wish me luck!!

Tuesday, May 02, 2006

Pramoedya Pahlawan Kita

" Pramoedya Ananta Toer Pahlawan Kita "
(Feb 1925 - April 2006)

Saya memang bukan satu-satunya yang merasa kehilangan atas kepergian sastrawan raksasa, Pramoedya Ananta Toer, tanggal 30 April lalu, meski saya bukan siapa-siapa beliau. Tetapi, sekilas kenangan bersamanya, membuat hati saya ingin terus menangis. Suara tawanya yang terkekeh-kekeh, sorot matanya yang ramah, kaos oblongnya, dan tentu saja asap rokoknya yang mengepul tebal, masih membekas lekat di benak saya.

Perkenalan pertama saya dengan pak Pram terjadi tahun lalu. Saat itu saya ditugaskan untuk mewawancarai dan mengikuti kegiatannya sebagai sastrawan, untuk diangkat sebagai profil Maestro, tayangan di Metro TV. Tidak sulit untuk membuat janji dengannya. Setiap hari Kamis, ia biasa meluangkan waktu seharian untuk janji wawancara. Begitu yang dijelaskan oleh putri beliau, Mbak Titik.

Saat itu saya hanya mengenal pak Pram dari namanya saja, belum pernah membaca satupun karyanya. Tetapi saya tahu, betapa seorang Pramoedya begitu disegani, bahkan mungkin lebih ditakuti.

Entah apa perasaan saya saat itu. Yang pasti, saya begitu senangnya bertemu dengan seorang pelaku penting sejarah bangsa ini. Ya, saya berhadapan dengan saksi hidup rentetan sejarah di belakang kehidupan saya, yang memungkinkan saya berdiri saat ini.

Awalnya banyak keraguan dalam diri saya. Momok PKI benar-benar melekat pada dirinya, sehingga membuat saya sedikit takut. Tapi akhirnya, atas ijin Tuhan, saya bisa bertemu dengan pak Pram untuk datang mewawancarai. Ketika saya datang ke kediamannya di Bojong Gede, Bogor, pak Pram baru selesai dari berkebun. Dengan kaos oblong, topi pet hitam, sepatu bot, dan cangkul, pak Pram menyambut saya dan tim. Setelah diajak berkeliling memamerkan perpustakaan dan berjilid-jilid klipingan koran yang sedang disusunnya, pak Pram pun siap di wawancara.

Setelah beberapa pertanyaan tentang pencapaian hidup yang diraihnya, tibalah saat saya menanyakan masa kecilnya di Blora. Ia pun menceritakan masa kecilnya yang ternyata pahit. Tidak naik kelas sampai tiga kali di sekolah dasar, padahal ayahnya seorang guru. Saya melihat jelas kilatan kemarahan pada matanya, ketika ia mencontohkan bagaimana ayahnya sering memarahi habis-habisan dan meneriakinya 'anak goblog'. Belum lagi ejekan teman-teman sekolahnya yang sering memergokinya sedang mencari kayu bakar untuk membantu ibunya. Akhirnya ia menjadi rendah diri dan banyak menyendiri. Lewat tulisan, ia menumpahkan semua kemarahan dan kesedihannya. Namun nada bicaranya yang keras berubah lembut, ketika ia menceritakan tentang ibunya. "Ibu adalah pahlawan saya," begitu katanya, dan matanya kini berbinar-binar.

Ketika ia menceritakan itu semua, terus terang saya seperti melihat sosok tua di hadapan saya itu menjelma menjadi bocah kecil yang butuh pertolongan. Bocah yang terluka, bingung, namun dibiarkan sendiri. Dan melihat luapan amarahnya yang tertahan, saya merasa kasihan padanya. Rasanya ingin saya rengkuh bocah itu, membiarkannya teriak dan menangis di pundak saya, agar hilang semua kepedihan, kemarahan, dan sakit hati, yang selama ini disimpannya. Sepotong pengalaman masa kecil yang ikut memantik api di dalam hatinya.

Ketika saya menanyakan tentang apa yang paling disyukuri dalam hidupnya, pak Pram menjawab tegas, tidak ada yang ia syukuri. Terus terang saya setengah melongo mendengar jawaban tidak biasa itu. Lalu ia melanjutkan, bahwa semua yang ia raih selama ini, terjadi karena usahanya sendiri, bukan atas pertolongan orang lain, bahkan juga Tuhan. "Ketika saya di penjara, siapa yang menolong saya? Tidak ada!" demikian katanya. Saya cuma manggut-manggut saja, tidak ingin membantah.

Hampir semua pertanyaan yang saya ajukan seputar kehidupan dan karya sastranya, tidak menyerempet-nyerempet masalah politik. Namun pak Pram sempat berkali-kali mengatakan, lebih tepatnya mempertanyakan, sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu kenapa saya dimusuhi. Benar-benar saya tidak mengerti. Saya ini tidak tahu apa-apa. Tahu-tahu saja, nama saya dimasukkan sebagai ketua organisasi. Padahal saya sendiri tidak tahu apa-apa," pak Pram menatap mata saya, seolah mencoba meyakinkan diri saya. "Heran saya, saya disanjung-sanjung, diberi penghargaan di luar negeri, tetapi di negeri sendiri malah dimusuhi. Bingung saya kenapa."

Saya yang sebelumnya sudah membaca sedikit riwayat sejarah pak Pram, juga cerita dari beberapa narasumber, sedikit 'mengetahui' bahwa pak Pram dulu sangat keras menghadapi lawan politiknya saat di Lekra. Namun, menyadari begitu jauhnya rentang generasi antara saya dengan peristiwa politik tahun 60-an itu, dan semakin sedikitnya bukti-bukti sejarah yang tersisa karena hilang, dihilangkan, atau dibawa mati para saksi hidupnya, rasanya sejarah menjadi sesuatu yang samar-samar bagi saya. Saya tidak tahu lagi, mana yang benar, mana yang salah, atau mana yang sudah dipelintir menjadi sebuah kebenaran. Karena itu, saya yang takut membahas masalah sensitif ini, cuma tersenyum mendengar gugatan pak Pram, mencoba untuk tidak berkomentar atau memihak siapapun.

Sungguh saya sangat menikmati kebersamaan saya bersama pak Pram saat itu. Meski hanya bisa dua kali bertemu, karena saat itu ia sudah sering sakit-sakitan, saya tidak mampu menghapus kenangan saya pada pak Pram. Karena itu, saya juga maklum, jika banyak orang yang jauh lebih mengenal karya-karya maupun sosoknya, secara tidak sadar akan 'mengkultuskan' dirinya.

Dan ia memang luar biasa. Karena melihat pak Pram, seperti melihat putaran pita seluloid film sejarah Indonesia, sejak jaman Belanda, Jepang, Kemerdekaan, berikut cerita jatuh bangunnya. Dan ketika membaca karya-karyanya, kita seperti melihat cerminan sosok nyata pak Pram yang hidup bersama dengan tokoh-tokoh di dalam ceritanya.

Namun sosok yang melahirkan karya-karya mengagumkan dan disanjung di luar negeri ini, di kesehariannya tampil sangat sederhana, santai, dan jauh dari kesan 'raksasa' yang semula saya bayangkan. Pak Pram benar-benar tidak memberi jarak pada lawan bicaranya. Ngomong-ngomong tentang 'tidak memberi jarak' ini, saya jadi teringat ketika wawancara, saya duduk di hadapannya dengan dua lutut saling beradu. Telinganya yang tuli akibat dipopor senjata ketika di penjara, membuat saya harus 'meneriaki' telinga pak Pram setiap kali mengajukan pertanyaan, sampai saya jengah sendiri takut terlalu kencang berteriak. Sekali waktu, hampir saja muka saya bertabrakan dengan mukanya, yang refleks maju karena tidak mendengar pertanyaan saya.

Disela-sela wawancara yang berlangsung, berkali-kali pak Pram menanyakan apakah wawancara sudah selesai atau belum, karena tidak tahan kepingin merokok. Dan meski saya juga tahu mulutnya pasti sudah pahit, saya menahan diri untuk tidak membiarkan asap rokok menutupi wajahnya di layar kaca nanti. Jadi berkali-kali pula saya katakan sebentar ya Pak, padanya.

Dibalik sikapnya yang keras, sekilas ada sikap lain yang saya perhatikan ada pada dirinya, kesukaannya meledek. Saya yang awalnya agak tegang dan sungkan, akhirnya malah sering tertawa karena ia suka melempar celetukannya yang spontan. Misalnya ketika selesai wawancara, ia meledek saya; "Taplak meja kok dipakai." Saya yang sedang asyik menggulung kabel lighting dan tidak mendengar jelas, menanyakan maksud si Bapak ke rekan kameraman saya. Ternyata ia mengomentari kerudung saya. Ah, sialan, sambil keki saya tertawa lebar setengah membelalak ke arah pak Pram yang hendak menyambar rokoknya di meja. Sambil melangkah, ternyata ia masih menunggu reaksi saya dengan senyum simpulnya.

Setelah itu, mungkin karena terkesan dengan 'taplak' saya, sebelum turun ke lantai bawah untuk beristirahat, pak Pram memberi saya kejutan tak terduga. Empat buku Tetralogi terbitan terbaru, lengkap dengan tanda-tangannya! Wah, saya sampai menganga kegirangan dan berkali-kali berterimakasih padanya. Ketika berpamitan pulang, saya tidak bisa menolak keinginan untuk mencium tangan pak Pram, seperti laiknya seorang anak pada ayahnya. Bukan, bukan karena ia telah menghadiahi buku kepada saya, tetapi karena saya mencintai dirinya dan tiba-tiba merasa dekat dengannya. Jika ia tidak bisa mendapatkan haknya untuk dihormati sebagai warga negara, setidaknya ia tahu ada satu lagi penggemar baru yang mengaguminya.

Ah, betapa pak Pram memang sulit dilupakan. Meskipun tidak sedikit pula tokoh-tokoh lain yang tidak kalah berjasanya pada negeri ini, tetapi sejarah yang melingkupi kehidupan pak Pram, kegetiran hidupnya, ketegarannya menghadapi ketidakadilan, pemikiran dan sikapnya yang berani, menjadi oase yang mengaliri rasa haus akan suri tauladan. Dan sama seperti saat pak Pram masih hidup, ketika kita dikenalkan oleh potongan-potongan sejarah bangsa ini melalui karya-karyanya, kini lewat karya-karyanya pula, sosok pak Pram menjadi bagian tak terpisahkan dari potongan sejarah yang ditulisnya itu.

Selamat jalan, pak Pram. Saya sungguh beruntung pernah bertemu dan mengenal anda, meski sekilas saja. Semoga perjuangan anda di dunia diterima oleh Sang Khalik. Dan semoga karya-karya dan pemikiran-pemikiran anda yang telah memperkaya cakrawala berfikir diri kami, juga generasi sesudah kami nantinya, menjadi amal yang tidak putus-putusnya untuk anda, Pak. Amin ya Rabbal alamin.

Salam hormat dari 'negeri' seberang,
Dissi Kaydee

PS: Tulisan ini juga dikirimkan ke milis membacapramoedya