Sunday, March 30, 2003

It's funny when time's like turning back to the same situation like we once have. Especially when it's considered as a bad dream, but it's not really a dream. The beginning, the content, the story line, and the words, smell like the same old story. And I found myself dragged in this particular situation, with no intention. But I guess, now I know much better where the ending would be...Nowhere.

*sigh* It's just soo...predictable!

Friday, March 28, 2003

" The March 29's Surprise "


He sent me a message, the old man, the old story, the one who blocks my way to fall in love again, the one who taught me to separate dream and reality. Do I feel shocked? Do I feel excited? Do I feel happy? Frankly, emptiness is all I have. Nothing. Too surprised have my mind, my heart stopped their sense to feel. And this make me happy.

Just thought about something. For months I believe something beyond my rational mind, that something will gonna happen in the future, in certain time, I don't know what it is, what kinda thing it would be. But it happened. The feeling, something like a faith inside, did happened for few times. Not a psychic, but more to intuition, starting since he existed in my life in 2001-2002. But when he left, didn't take too long to the intuition to run after him, just as easy as he did. And I never think about it anymore. At least I'm trying. Just to know his name still exists in my mind, make me crazy and vulnerable.

And today, March 29, a time that I've once told about it to my friends, I guess on December a year before (I'm amazed they still wanna hear about it), that something will happen, I don't know what, on March 29. We were laughing and guessing each one, that maybe on that time I'll be proposed to get married or got a loving boyfriend to replace his domination ever after...I believe, they were just trying, and I was also, to cheer me up and forget about that-horrible-pathetic-shamefull-whatever you want to call it- what so called love story, and create any imagination we could.

And today, exactly on March 29, I just found out that he sent me a message two days ago.

You know what I'm doing right now? Crying? Noo...Upset? Noo...Excited? No either...

I'm laughing without any sound...I smile in bitterness...not because of my happiness, or a reflection of feel hopeless...just...

I don't understand life, at all, not even close. And my natural self protection not to be carried away and to feel hope, just make me laugh. I laugh at life that brought to me, just because I could never understand it. The up and down, the sadness and happiness phase, the roller coaster of life.

I'm surprised, and I'm glad to get his message, as I bear in mind that he would never show up his existence since after. Somehow, I'm still afraid to grace God, afraid that this is actually another test of life, after I finally give up and let life bring me to wherever it wants.

Actually, what had happened and still happening to my love life, all the rejection and the pain, doesn't make me stronger, but has shaped my ignorance level even better than before. And I think I deserve it. Deserve to have my last protection, to protect myself from my own self for being hurt.


Wednesday, March 26, 2003

" There's no Unconditional Love? Tell me! "


Ada yang unik dari setiap hubungan gue dengan laki-laki yang (pernah) dekat dengan gue, sebagai teman atau sebagai gebetan. Setiap dari mereka memiliki karakter berbeda, itu pasti. Tetapi entah kenapa, gue selalu bisa menyesuaikan gaya bicara/menulis/bersikap dari setiap orang.

Gue bisa santun, bisa konyol, nakal, serius, wise, halus, atau asal, tergantung dari karakter orang itu terhadap gue. Gaya gue akan berbeda antara satu dengan yang lain, dan tidak bisa diterapkan pada orang dengan gaya yang berbeda. Dan setiap orang, disadari atau tidak, memiliki ujaran dan gaya yang khas, yang mungkin tidak disadari oleh orang tersebut. Menarik, karena gue bisa leluasa mengekspresikan satu sisi secara habis-habisan, dari bermacam-macam karakter yang gue punya.

Mungkin seperti bunglon yang tidak punya pendirian. Makanya terkadang hal ini sering bikin pusing kepala, karena gue merasa tidak punya satupun karakter yang dominan/kuat pada diri gue, semua rasanya ada meskipun sedikit-sedikit. Gue jadi sering merasa, gimana sih sebenernya gue ini? Kok ya se-plin-plan ini.

Errgh...kenapa sih kok ujug-ujug gue ngomongin laki-laki gini? Begini, hubungan dari setiap orang yang unik ini, terkadang tidak berjalan seperti yang gue mau. Kadang kedekatan kita berubah dari sekedar pertemanan biasa lalu berubah jika salah satu tiba-tiba punya ekspektasi berbeda dari sebelumnya, berbentuk ungkapan perasaan, tersirat atau langsung, untuk lebih dari sekedar teman. Ekspektasi itu terkadang datang dari mereka, tapi tidak jarang datang dari gue sendiri.

Hubungan tersebut tidak akan menjadi masalah jika kedua pihak mempunyai ekspektasi yang sama. Kalau itu yang terjadi, case closed, tidak usah dibahas. Nah, apa jadinya kalo cuma satu yang mempunyai ekspektasi, sedang yang lain tidak?

Hmm...kembali lagi, semuanya tidak akan menjadi masalah kalau kedua pihak bisa bersikap 'sewajarnya', back to pertemanan kalo approaching ke arah serius tidak berhasil. Yang terjadi, lontaran perasaan itu tidak jarang malah merubah hubungan pertemanan yang sebelumnya ada. Semuanya berubah. Dari cara bicara, menulis, atau bersikap. Ada kecenderungan menghindar, menjauh, kemudian menghilang. Hubungan pertemanan yang sudah ada berubah menjadi tidak eksis lagi. Mungkin ada perasaan 'tertolak' atau 'terluka' yang bisa menjadi alasan.

Banyak terjadi, akhirnya gue kehilangan teman-teman terbaik yang dulu pernah dekat, hanya karena salah satu dari kita menyatakan perasaannya. Tetapi, terus terang, gue selalu merasa menjadi 'korban' dalam hal ini, karena selalu gue yang kemudian ditinggalkan. Ngga tau kenapa. Apakah terlalu menyakitkan untuk berteman lagi dengan gue? Atau, apakah menakutkan mengetahui lontaran ekspektasi gue, yang terkadang tersamar atau malah begitu blak-blakan?

Penolakan bagi gue tidak menjadi masalah, sepanjang orang yang menolak itu memperlakukan gue dengan sewajarnya, sebagai teman. Lebih 'mendingan' ditolak cinta ketimbang kehilangan temen yang baik. Tapi yang ada, dan ini menyakitkan, gue kerap ditolak sebagai teman setelah sebelumnya berurusan dengan yang namanya 'ekspektasi' ini, ngga peduli gue yang menolak atau malah yang ditolak...*sigh*...apa ya salah gue? Hanya karena hal 'kecil' seperti ini, gue malah kehilangan sparing partner untuk berdiskusi, berbagi, bercanda, dan mengekspresikan perasaan. Ah, damn!

Lama kelamaan, diperlakukan seperti ini terus-menerus berpengaruh besar pada diri gue. Setiap menemukan orang yang cocok, gue takut pertemanan itu akan berubah bentuk sejalan dengan waktu dan intensitas hubungan itu sendiri. Gue jadi ngga bisa bebas mengekspresikan rasa sayang gue, care, attention, atau minta perhatian ketika gue butuh. Gue jadi bukan 'gue' lagi, tapi batang pohon pisang yang ngga punya jiwa, dingin dan mati.

Apa memang ngga boleh yah melibatkan cinta yang bukan 'cinta' sebenernya terhadap teman yang dianggap spesial? Apa sama temen itu harus yang 'standar-standar' dan 'normal-normal' aja? Apa memang salah? Apa perhatian hanya boleh ditunjukkan ke sobat perempuan aja? Yang gue rasa, gue malah ngga sehangat dan segitu bela-belainnya kalo ke sobat perempuan.

Gue baru inget, ketika dulu sering dicomplain mantan gue, karena dia merasa gue lebih perhatian sama sahabat-sahabat gue dibanding ke dia sendiri yang lempeng-lempeng aja. Dia takut para sahabat ini jadi salah sangka terhadap perhatian gue dan ge-er menyangka gue jatuh cinta. Padahal, gue juga yang ngga macem-macem dan ngga take advantage apapun. Cuma, cinta sama sahabat terasa lebih tulus dan tidak mengharapkan apa-apa, itu aja.

Khusus untuk orang yang ketiban sial jadi gebetan gue, ketika kemudian hubungan kita menjauh, yang tersisa dan membuat sesak adalah ketika secara tiba-tiba gaya mereka, ekspresi mereka saat berbicara/menulis/bersikap melintas di pikiran dan hati gue. Terkadang, hanya dari satu kata ujaran, yang menurut gue khas, menjadi pemicu gue ingat kembali. Dan mengetahui bagaimana mereka memperlakukan gue, gue jadi bete, hopeless.

----- pause, tarik napas dulu -----

Kenapa sih gue kok ngedumel ngga karuan seperti ini? Hmmm...Karena baru-baru ini gue merasa ditinggalkan (lagi). Pesan gue ngga pernah dibales, pun menerima pesan-pesannya seperti dulu. Ok, fine, moga-moga cuma ketakutan gue aja. Hanya saja, tiba-tiba aja ucapan khas orang ini tiba-tiba melintas, dan cukup menyakitkan untuk mengingatnya lagi. Gue terlanjur patah arang, bukan karena ekspektasi gue yang tidak berbalas baru-baru ini, tapi karena pertemanan gue dengan dia terancam bubar!

Sunday, March 23, 2003

-- supposedly Saturday 22, at 3.00 am --

Just got back from Citos. As usual, we are the last customers in Regal. Ngga ada yang istimewa. Cuma dengerin ceritanya Sanda, sepupunya Rani yang just got back from Bristol, UK, today for vacation. She takes Post-graduate in Multimedia Studies for Web, and just about spent 6 months of 1,5 years study, when she's becoming homesick and decided to go home for a month. Others, just small talk about casual thing, and some information about Photography I've got from 'Na and Rizal.

Arrived at Citos around 9.30, after went to Jamz to meet Idang Rasjidi, a Jazz musician, to shot some of his pictures with Bubi Chen, The Art Tatum of Asia and a Jazz Maestro , that will be on air for next episode. But a hit and run accident has happened to his Dad today, which caused him being taken care in MMC Hospital. He's still black out since the accident. No wonder, he's 88 years old, hit by a bus when he stood next to his car to buy fruits in Puncak area. So he asked me to get the pictures on next Monday. Oh well, get well soon then, Oom Idang's Dad! I hope everything will be just fine.

Was going to meet Rani's cousin which already set up a day before. The last one was cancelled for his family reunion. But then this was being cancelled also, now for some works he had to do urgently, so we're just eight until the coffee shop was about to close at 2 pm. Ok then, some other time.

Then plug in to Internet to check messages, and got some from Thomz, telling about his arriving from Jogja, and will be here for just two days. So, I think we have to meet, Thomz! And btw, it's nice to see you again HERE! *grin*

Ah yea, guess what I got from Production Meeting yesterday? Am going to travel around East and Centre of Java again, to collect reportage for the next 6 episodes, maybe on April. This would be Semarang, Jombang, Surabaya, Blitar, and Jogja. Woohoo!!

Jombang relate to KH Hasyim Asy'ari, The Founding Father of Nahdlatul Ulama (NU), the largest Islamic organization in Indonesia, who will be profiled due to his dedication to Education System, specifically to Islamic community (Pesantren) in Indonesia. So...the interesting yet tough task for me is, I will interview Gus Dur according to his opinion toward his grandpa's accomplishment...*grin* Am not a fan of him, actually I don't really like most of his controversial statement about politics, but...yaiy! I'm going to interview the ex-President! whohaaa!! *blinking*

Then, I'll skip to Jogja to profiling KH Ahmad Dahlan, The Founding Father of Muhammadiyah, another largest Islamic organization in Indonesia, same as NU. Sure, I'll interview some of Muhammadiyah's thinktank, such as Syafi'i Ma'arif, the current leader, and of course, the current leader of MPR, Amin Rais...:)

Again, I'm not a fan of him, at least now, but some of his ideas still make me amazed, though I'm already disappointed with his previous maneuver, rulling this country to the way he wants. He had his most important milestones in politics when he and the students successfully made pressure to Soeharto and made him resign as President in 1998. Then I was become his fan and support his party, PAN, to win the election.

But then, I was really upset with his unconsistenly rules in politics, when in one time he successfully drove Gus Dur become a President, but then tragically turn him to ex-President and brought Megawati as President. Gosh! Now, I don't really think it's worth it to support any party in the next election. I ain't trust nobody anymore. The remain spirit of last reformation seems doesn't affect anything anymore. The government become the new regime now. So I prefer not to choose.

Then, the other profiles we're going to documented in Jogja are But Mochtar, a Sculptor, and Sultan HB IX. According to him, must be relate to his son, Sultan Hamengkubuwono (HB) X, the Jogjakarta's Sultan, top leader in Jogja. HB IX also a great politician and was the second Vice President of Indonesia after Bung Hatta has resigned.

In Blitar I'm going to take some shots of Soekarno's cemetery, as part of his biography. No need to discuss that he's one of the biggest politician in Indonesia, our first President, whom his charisma still exist even after he passed away long time ago. Unfortunately, most of his supporter pay too much attention only on his charm, and not his brilliant idea. Instead of doing research and implement some of his thought, they're just worship as idol just because he has a name called Soekarno.

In Semarang, we're dealing with Gan K.L., a Kung Fu Story Writer, Surabaya will be Budi Dharma a Writer, and in Jakarta will be Sapardi Djoko Damono, a Poet.

Hmmm...what a tough and challenging task to do, eh? Guess I've gotta bring my pocket camera and take some shots of myself with those people, huh? *wink* :)) Frankly, I'm nervous, afraid that I'm gonna fail with some of these episodes. You know, the bureaucracy here...moreover it's dealing with the super busy politician...*sigh* Other, I urgently need to absorb as much as possible the information of those people, their background and also their contribution in Indonesian history (only Sapardi, Gan KL, and Budi Dharma are still alive, the rest are part of the history).

*sigh* Wish me luck then! I need it that bad!

Friday, March 21, 2003

" Hari Misuh Se-Dunia "


Prolog

Fiiuhh...what a day...W-H-A-T-A-D-A-Y...

Memang ngga enak yah berangkat pagi dan pulang sore barengan orang-orang kantor, anak-anak sekolah, dan ibu-ibu ke pasar...semrawutnya ngga ketulungan, semua orang semangat buat nyalip yang lain dan ngelindes yang ngga mau cepet jalannya. Belum lagi klakson dari seluruh penjuru mata angin, dan muka-muka stress ngitungin deretan mobil macet. Duh, Jakarta...pagi-pagi kok ya selalu dimulai dengan kekacauan gini! Makanya...duh! gue lebih bahagia sebenernya kalo kerja, berangkat siang-pulang malem, menyesuaikan jam produktif bodi...(excuse kalo sebenernya males bangun pagi!).

Hari ini nyampe kantor jam 9, ngaret sejam dari janji gue pada diri sendiri. Langsung disambut senyum cerah anak-anak karena tumben-tumbenan gue nyampe kantor masih bau udara pagi. Masih sepet sih mata, karena semalem pulang jam 22.30, benerin logo Hotel Wisanti-Jogja yang harus dimasukkin di credit title-nya episode Kusbini Minggu besok. Logo aslinya ngga ada, cuma fotokopiannya aja. Alhasil, dibantu arahan Front Office-nya, gue pake jurus mari mengarang buat ganti warna hitam hasil fotokopian dengan warna aslinya. Gak tau deh, apa warna dasar yang katanya biru keungu-unguan itu sesuai atau ngga. Lagian dicari di Internet juga ngga ada sih...

Sebenernya mah kerjaannya editor sih, cuma lagi kurang kerjaan aja, ditambah buat menebus dosa ke produser gue karena bahan-bahan dokumentasi Kusbini kelewat, ngga gue fotokopi waktu di Jogja dulu...padahal semuanya udah di tangan, udah dipinjem dari anaknya buat difotokopi, dan udah nyari fotokopiannya. Tapi yah emang lagi apes, bahan harus dibalikin hari itu juga, trus malemnya mesti liputan, ketambahan hari Minggu pula, dimana semua toko itu tutup! Pokoknya waktu lagi bener-2 ngga berpihak deh waktu itu! Jadi aja perasaan gue gak enak banget di sindir terus beberapa hari ini...:)

Ngga ada janji wawancara sih pagi ini, cuma emang mau stock shot patung-patungnya pak Edhy Sunarso yang ada di Jakarta, sebelum wawancara beneran abis shalat Jumat di tempat pak Sulebar, untuk minta komentar tentang pak Rusli, pelukis senior. Begini ceritanya...

Pertama

Start di Patung Dirgantara, yang mungkin lebih familiar kalo disebut Tugu yang ada di Pancoran itu...:) Ikut buntutin Kameraman cari angle bagus dari berbagai arah selama sekitar setengah jam. Sebenernya menurut pak Edhy, pembangunan fly over yang sekarang sedang berjalan, bisa jadi membahayakan kelangsungan hidup si Tugu, karena getaran waktu penancapan pasak bumi pastinya sangat kuat. Gimana kalo rubuh coba? Belum lagi kalo ada 'kesalahan' konstruksi yang sering terjadi di lapangan. Padahal konsep awal saat pembuatan tugu yang merupakan ide Bung Karno itu -dan dia kebetulan Arsitek juga- sudah direncanakan untuk tidak memberi beban terlalu berat di daerah sekitarnya. Dengan adanya pembangunan jalan yang melintasi tugu itu (dan dengan pembangunan jalan sekarang ini), tentunya untuk jangka panjang ke depan, terlalu riskan...

Kedua

Setelah selesai nyebrangin jalan untuk cari angle, perjalanan dari Pancoran berlanjut ke Tugu Selamat Datang di Bunderan HI. Mobil diparkir di Hotel President. Lumayan cenut-cenut juga dengkul gue yang ngga pernah kena stretching itu waktu turun tangga jembatan penyebrangan di depan Plaza Indonesia. Duh! Gimana kalo harus liputan ke gunung yah? Bisa-bisa sewa ojek gue!

Bete banget deh liat air mancur proyekannya Gubernur Jakarta yang ngabisin jatah uang rakyat sebesar 14 milyar itu. Mana ngaco dari konsep awalnya lagi! Saat dibangun, menurut pak Edhy, celah yang di tengah itu sengaja di buat, biar setiap mobil yang melintas di HI bisa melihat arus lalu lintas dari arah sebaliknya. Ini malah ditutupin air mancur yang tingginya ngga kira-kira. Trus, arah air yang dulunya ber 'sahabat' mengarah ke dalam kolam, sekarang di bikin mengarah ke luar, langsung mbasahin jalan raya, karena area yang semula bisa untuk jalan kaki dan duduk-duduk, udah ditinggiin dan dialirin air plus peringatan keras setiap meternya: "Dilarang Masuk! Awas Berbahaya! Tegangan Listrik dan Kedalaman Air 180cm!" Bener-bener pembangunan yang tidak manusiawi dan beradab!

Tiga

Selesai di HI, langsung menuju Monas, untuk nge-shoot Diorama (patung-patung dan benda-benda tiruan 3 dimensi yang diatur sedemikian rupa, menceritakan tentang peristiwa saat itu, biasanya untuk rekonstruksi sejarah ) yang ada di dalem. Sampe Monas bete lagi karena liat pagar-pagar hasil proyekan orang yang telah disebutkan di atas tadi, orang yang sama cueknya dan sebodo amet kayak bush itu. Kawasan Monas sekarang bebas dari kendaraan, warung dagangan, tukang asongan, dan orang pacaran. Yang ada cuma delman, mobil khusus WC umum, dan polisi-polisi yang lagi Siaga I nungguin Kedubes US kalo-kalo ada yang iseng ngelempar bom. Jadi, ada tambahan olahraga lagi tadi, karena jalan masuknya buset aja! (Gue gak hobi olahraga sih ya, jadi sori-sori aja kalo ngeluh terus!)

Liputan Diorama akhirnya ngga jadi, karena ternyata ada retribusi untuk nge-shoot di bagian dalem sebesar 650 ribu. Kalau nge-shoot bagian luar Monas, biayanya 250 ribu. Gleg! Retribusi sih retribusi, tapi kira-kira dong! Itupun ternyata "bisa aja sih Mbak 250 ribu kalo ngambilnya cuma sedikit", setelah gue ngecap agak lama, kalo ini buat program dokumenter, ngga diambil semua, cuma beberapa second untuk menerangkan bahwa ini termasuk karyanya Pak Edhy, sekalian promosiin Monas, bla-bla-bla. Tapi ternyata dianjurin untuk kirim surat permohonan ke Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI untuk minta persetujuan dulu (meski setelah ijin turun, tetep harus bayar 'retribusi' buat orang lapangannya!). Heran! Waktu di Lubang Buaya untuk nge-shoot Monumen Pancasila Sakti lancar-lancar aja! Malah retribusi untuk shooting kamera TV cuma 2000 perak! Tuh coba! Gimana gue ngga mutung??

Kalo boleh tanya, punya siapa sih sebenernya Monas itu? Bukannya saat awal dibikin itu memang diperuntukkan buat tamannya rakyat? Malah kalo ngga salah, taman itu udah dijadiin taman umum sejak Belanda masih asik-asiknya disini. Kalo penginnya biar bersih dan tertib, ya sistemnya dong benahin, bukan pagernya yang ditinggiin. Kenapa ngga sekalian aja minta dibikinin patung diri setengah badan di sekeliling taman buat naikin derajat kebanggaan anak-cucu-kroni-anak buah?

Empat

Pulang dari Monas, kita menuju Lapangan Banteng untuk nge-shoot Tugu Pembebasan Irian Barat. Nah, kalo ini boleh deh kalo mau ditertibkan dan diperindah. Lapangan yang terkenal sebagai pangkalan (sori) hombreng dan gigolo itu, bener-bener ngga terawat, jorok, kumuh. Di satu sisi taman, ada hiasan jemuran baju orang-orang yang bikin warung disitu. Dibawah tugu, yang harusnya bisa dimanfaatkan buat jadi kantor pengelola, malah jadi rumah anak-anak kalong berikut sampah-sampah hasil memulungnya. Di pintu masuk taman, mobil-mobil ringsek bekas tabrakan dibiarin gitu aja berjejer di tepi jalan. Pokoknya bener-bener ngga direkomendasikan buat tujuan pariwisata deh!

Selain itu, di sekeliling lapangan, banyak warung makan, bis-bis karyawan Departemen Agama yang mangkal disana, dan orang-orang yang sibuk ngebahas nomer berapa yang keluar semalem, termasuk ibu yang jual nasi rames tempat kita makan. Dia nulis itung-itungannya di atas kertas judi togel yang dia ambil dari lacinya. Padahal diujung taman deket jalan raya ada Pos Polisi, dan di seberangnya Istiqlal dan Katedral. Hmm...ada hubungannya ngga sih?? *angkat bahu*

Lima

Selesai stock shot, buru-buru cabut ke arah Tebet, janji wawancara jam 13.00. Jalanan di seputar Menteng ternyata masih macet aja, mungkin ada demo di HI. Tetapi emang Polisi banyak banget seliweran di tiap ruas jalan. Jagain apa sih Pak?...Mau-maunya...

Selanjutnya gue ngga denger apa-apa, ngga liat apa-apa, dan ngga peduli apa-apa...gue terlalu ngantuk buat ngelanjutin misuh-misuhnya...


----Cerita tentang hari ini BERSAMBUNG----

Wednesday, March 19, 2003

Hah! I just got these quotes by chance. So there's a reason behind (though we've already found it out since in the beginning!) and a description telling about what make the stubborn bush so confident with this war. Hmm...no wonder eh, mr. blood thirsty for oil!

A fool is very dangerous when in power
Quote by Denis Fonvizin

Who's more foolish: the fool, or the fool who follows him?
Quote by Obi Wan Kenobi

He who strikes terror into others is himself in continual fear
Quote by Claudian
No need to say to a GREEDINESS...
Let's just pray and counting...
Until tomorrow!

Against War in Iraq

Saturday, March 15, 2003

" Lemotism "

Aduh, aduuuhhh....gara-gara mata lemur ngga bisa bedain "Warnadunia" dan "Masterweb"...jadi aja benerin weblog begituan aja menguras keringat dan energi gini...mana ada yang pengin ngebanting monitor lagi, gara-gara gue lemot banget! hihihi...sorri dimorriii ya ranggaaaa...ihik! Sayah kan pemula...*grin*...But thanks anyway buat kesabarannya yang super duper itu! *wink* *wink*...besok-besok ta' traktir makan duren deeehh...

Betewe, kerjaan pertama gue di Solo bakalan tayang nanti malem jam 10.05 di program Maestro-Metro TV, tentang Ki Manteb Sudharsono. Moga-moga aja sih memuaskan. Oiya, sekalian pengumuman, bahwa sesungguhnya gue itu BUKAN DAN TIDAK bekerja di Metro TV...Ya? Catet...Cape juga nerangin terus kalo gue tuh sebenernya di Production House-nya, namanya INDRA (Indonesia Raya Audivisi), yang TERPISAH DAN BERBEDA sama sekali dengan Metro (dan BUKAN punyanya Indra Savera!). Kebetulan aja program kita ditayanginnya disana.

Sori kalo keliatan kayak promosi...abis gue bete sih, berkali-kali ditanyain pertanyaan yang itu-itu aja, dan harus menerangkan jawaban yang itu-itu juga. So...kalo ada yang nanya lagi? Hmmm....silahkan baca entry-an hari ini aja deh...:)

Wednesday, March 12, 2003

" Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO "
Oleh: Ahmad Taufik, Wartawan Majalah TEMPO

Prolog

Peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Maret 2003, telah menodai kemanusiaan dan kehidupan yang beradab di negeri ini. Sekelompok orang dengan uang yang dimilikinya mengerahkan massa, menteror dan berbuat sewenang-wenang. Aparat keamanan (polisi) juga tidak berdaya, dan dipermalukan di depan masyarakat (minimal saksi mata dan saksi korban).

Apa yang akan saya ceritakan disini adalah kronologi penyerbuan yang tak beradab dan penyelesaian akhir yang terputus. Saya sebagai saksi mata, saksi pelaku sekaligus saksi korban (yang mendengar, melihat dan merasakan kejadian). Saya akan klasifikasikan secara terbuka dalam laporan ini: apa itu informasi, yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, analisa atau kesimpulan. Soal kata akhir terserah masing-masing pihak yang tersangkut disini, karena saya tidak bisa terima dan sekaligus tertekan secara psikis.

Inilah laporan lengkapnya:

Rabu, 5 Maret 2003

Saya ditelepon oleh Desmon J.Mahesa, kuasa hukum Tomy Winata. Ia mengatakan bosnya, Tomy Winata, tak senang dengan tulisan saya di TEMPO edisi Senin, 3 Maret 2003, berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Dia tanya, "Apakah tulisan itu dibuat BHM (Bambang Harymurti)? BHM itu, kan bekas anak tentara, yang membenci Tomy Winata, Artha Graha, karena AG diback-up Edy Sudrajat."

Saya bilang, "Pada saat tulisan itu jadi BHM sedang berada di luar negeri, di sini kami bekerja dalam sebuah tim kolektif."

Desmon lalu bilang, "Akan mengirim surat ke TEMPO." Saya katakan "silakan saja." Ia mengatakan, "Saya kulonuwun dulu, karena ada senior di sini (TEMPO, maksudnya saya, sebagai aktivis dulunya) untuk mengirim surat atas permintaan bos/kliennya."

Saya sempat memberi tahu kepada atasan saya di kompartemen nasional, dan beberapa kawan, serta BHM soal rencana Tomy melalui Desmon J. Mahesa akan mengirim surat ke TEMPO.

Jum'at, 7 Maret 2003

Desmon kembali, menelepon saya, bahwa ia sudah mengirimkan surat somasi ke TEMPO. Lo, saya kaget juga. Somasi? Saya pikir surat yang dimaksud Desmon adalah surat bantahan. Saya tanya kapan dikirim? "Sudah siang ini," jawabnya. "OK, saya cek," jawab saya. Baru saya turun ke lantai dua, Wakil Pemimpin Redaksi Toriq Hadad memanggil saya, bahwa ada surat somasi dari Tomy Winata yang baru diterimanya. Saya diminta foto copy untuk mempelajarinya, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk bukti-bukti bila kasus tersebut berlanjut ke pengadilan.

Saya berdiskusi dengan atasan saya di kompartemen nasional. Atasan saya bilang "cobalah rayu Desmon dulu, mungkin bisa diselesaikan dengan cara lain."

Kawan saya dari kompartemen lain, Karaniya Dharmasaputra penanggung jawab kompartemen Ekbis & Investigasi, juga berusaha menghubungi seorang sumbernya yang merupakan kawan dekat Tomy Winata. Katanya akan diatur pertemuan dengan Tomy Winata pada Hari Senin, 10 Maret, mungkin caranya dengan memberikan wawancara khusus kepada Tomy yang lebih Konprehensif seputar isi berita sebelumnya.

Saya menelepon Desmon, soal somasi itu. Dia mengatakan akan memberikan konprensi pers di Restoran Sari Kuring, kompleks SCBD, Sabtu, 8 Maret 2003, pukul 11.00 siang. Aku menawarkan kenapa dia tidak mengajukan dulu surat bantahan (yang saya janjikan akan bisa dimuat untuk terbitan mendatang), "jadi somasinya enak."

Tapi Desmon bilang, "kliennya minta somasi bukan surat bantahan. Lagi pula bantahannya kan sudah termuat dalam berita itu," kata Desmon.

Kalau sudah ketetapannya begitu, saya bilang OK-lah. Bahkan Desmon sempat bilang kirim orang ya ke konprensi pers itu. Saya mengiyakan.

Sabtu, 8 Maret

Sekitar pukul 10.00 saya sedang menghadiri undangan acara penikahan yang juga dihadiri Wakil Presiden Hamzah Haz di daerah Condet, Jakarta Timur. Saya ditelepon seseorang teman seprofesi. "Eh, Tomy marah besar sama TEMPO soal berita Tanah Abang itu."

"O ya terima kasih," kata saya dan menceritakan soal somasi dan konprensi pers Desmon, hari ini (Sabtu/11/03). Telepon terputus. Tak lama kemudian sekretaris redaksi menelepon, "Pik, tolong ke kantor segera, di sini belum ada orang. Polisi sudah banyak di depan katanya, orang-orang Tomy Winata akan mendemo kantor TEMPO."

Acara pernikahan belum seluruhnya selesai, saya langsung pulang setelah mencicipi sedikit nasi kebuli. Saya berjalan kaki mencari taksi di Jln. raya Condet, sunguh sulit, jalan macet. Akhirnya setelah berjalan kaki 15 menit, saya melihat taksi Blue bird kosong, saya memberi tanda ia untuk memutar arah.

Saya akhirnya naik taksi itu sampai ke kantor, memang polisi sudah ada 2 truk, sedang bersiap-siap di dalam pagar TEMPO untuk pengamanan. Saya ke lantai 3 untuk mengecek e-mail, sambil beberapa kali melihat ke jendela dari atas ke bawah lapangan parkir. 15 menit kemudian, saya lihat sekelompok orang (mungkin masih 100-an orang) bertampang sangar menggoyang-goyangkan pagar gerbang TEMPO. Mereka juga berteriak-teriak, Tutup majalah TEMPO, Cabut Izinnya, bakar, tangkap dll. Saya berbekal foto copy surat kuasa Tomy Winata dan somasi yang dikirimkan Desmon, menuju ke bawah, saya berada di belakang polisi sambil melihat-lihat
aksi itu, saya merasa masih biasa-biasa saja, walapun mereka bertampang sangar dan teriak-teriak. Saya bilang kepada salah seorang polisi (kalau saya lihat saya ingat orang itu), "Saya minta perwakilan 2 atau 5 orang untuk masuk ke kantor kami."

Namun, polisi tersebut mengatakan, "Sudah, bapak ke depan saja, beri penjelasan kepada mereka."

Akhirnya dengan baca bismilllah, saya ke depan, saya berpikir akan aman, toh polisi sudah lebih banyak dari mereka (namun saya baru sadar belakangan semua polisi berada di balik pagar, di dalam halaman kantor TEMPO). Di depan massa, saya berkata, "Saya sekarang yang sedang bertanggung jawab di kantor ini, saya akan memberi penjelasan," kata saya sambil membawa kertas surat kuasa Tomy dan Somasi Desmon. Namun yang terjadi saya ditarik-tarik, ada 4 orang menarik-narik saya ke arah tengah-tengah massa, seorang lagi yang berada di dekat pagar menarik kerah baju saya (orangnya kurus gondrong, dan terus ada sampai di
kantor Polres). Saya ditarik-tarik, tanpa ada yang menolong, di depan pagar yang ada polisi, saya bilang, "Buka, buka tolong selamatkan saya." Tapi pagar tidak dibuka (mungkin polisi punya alasan lain, takut massa masuk juga).

Saya sungguh ketakutan, peci putih saya pinjaman ipar saya yang saya kenakan sejak acara pernikahan melayang dari kepala saya, entah siapa yang mengambilnya. Saya melihat pintu kecil di pinggir gerbang terbuka, jaraknya hanya 1,5 meter dari tempat saya ditarik-tarik. Saya berontak dari massa dan kabur terseok-seok (Alhamdulillah berkat tangan Allah padahal saat ditarik-tarik saya sudah hopeless). Jari tangan saya berdarah terluka, entah kena apa? Sampai di dalam gerbang karena terjatuh, dua orang polisi dengan tongkatnya dari kerumunan itu berusaha akan menggebuk saya, tongkat sudah diayunkan, tapi hanya jarak dekat tongkat itu tertahan, seorang atau lebih kawannya saya dengar mengingatkan eeee, itu bukan. Lalu polisi yang akan menggebuk saya, secara sekilas minta maaf, "Maaf ya, saya kira demonstran," katanya.

Saya sudah tak mendengar lagi, karena pikiran saya sudah mulai kalut. Saya ingat beberapa kawan TEMPO hanya melihat dari kaca di lantai 3 dan beberapa lainnya dari dalam pagar.

Lalu saya minta kepada seorang polisi, yang lain (bukan yang menyuruh saya ke depan massa), saya minta perwakilan mereka 2 sampai 5 orang saja, saya akan menerima mereka, mendengarkan keluhan yang akan disampaikan dan memberi penjelasan. Saya lalu membawa mereka ke lantai 3, bahkan seseorang di antaranya (belakangan saya tahu bernama Guntur Medan), mengatakan wah capeknya nih naik tangga. Saya bilang ya, berbeda dengan kantor Tomy Winata yang naik lift itu. Saya bawa ke ruang rapat lantai 3 yang sialnya masih terkunci, tapi belum 2 menit, ruangan itu sudah dibuka oleh pegawai TEMPO. Saya sempat basa-basi menawarkan minum air, teh atau kopi, tapi mereka bilang tak perlu. Saya bingung, demontran yang datang bukan dua sampai 5 seperti yang saya minta, tapi belasan orang, saya lihat polisi (saya ingat tampangnya) menyuruh mereka masuk.

Saya Tanya siapa saja mereka kok, banyak, saya berpikir kawatir kantor ini diacak-acak, atau ada barang-barang yang hilang maklum kantor sepi dan tak jelas siapa yang datang masuk ke kantor. "O,o mereka wartawan," jawab polisi itu. Ternyata yang berada di dalam ruang rapat belasan orang adalah para pendukung demo itu, ada beberapa polisi, saya di temani Abdul Manan, yang duduk di sebelah kiri saya, seorang bagian umum TEMPO, belakangan saya lihat ada seorang lagi dari TEMPO Bahasa Inggris. Beberapa kawan TEMPO lain tampak berada di luar ruang rapat.

Saya minta apa keluhan mereka. Saya mengenalkan nama saya, dan kebenaran saat itu saya bilang saya yang bertanggung jawab, karena yang lain sedang tidak ada, karena hari Sabtu. Seorang (yang belakangan bernama Yosep, menggertak tidak ada orang atau sengaja diliburkan karena tahu kami akan datang?) Saya bilang sekarang Hari Sabtu, yang masuk hanya yang piket saja, dan orang yang belum selesai tulisannya. Akhirnya debat yang tak perlu itu putus. Seorang yang bernama Teddy Uban (tangan kanan Tomy Winata), lelaki berambut putih berbicara nyerocos, marah-marah. Bahwa TEMPO menulis hal yang tidak benar, akibat tulisan itu kantor Bank Artha Graha di Jln.Jayakarta dilempari telor, "Pak Tomy juga diteror, bahkan Hari Senin, sejumlah pedagang korban kebakaran Pasar Tanah Abang akan menyerbu kantor Arta Graha di Jln. Jendral Sudirman. "Kalau nggak percaya gua telepon Kapolda nih, mau?" kata Teddy.

"Ya, silakan saja," kataku. Dia tampak berusaha menelepon, saya nggak tahu apakah benar menelepon Kapolda itu atau cuma gertakan. "Beliau sedang acara acara nggak bisa diganggu," kata Teddy. Sejumlah orang pengikut Tomy, di dalam ruang rapat berteriak-teriak mengompori, sahut menyahut, bagi saya itu biasa terjadi, dalam rapat-rapat. Sudah cukup, saya bilang, "Saya akan menjelaskan persoalannya." saya katakan, "Saya sudah terima somasi dari Pak Tomy melalui pengacaranya Desmon, bahkan hari ini kabarnya akan ada konprensi pers, kami terima keluhan anda, kami juga sedang berusaha menemui Pak Tomy, rencananya hari Senin, sekarang kabarnya Pak Tomy sedang berada di Kendari. Saya terima keluhan anda."

Belum selesai saya omong Teddy sudah menyahut kembali, "kamu kan penulisnya, kami minta siapa sumber Anda, hayo sebutkan sekarang, tunjukkan kalau Anda katakan Anda akan aman, akan kami amankan." Saya bilang, "ada prosesnya seperti yang sudah ada dalam somasi ini," kata saya menunjukkan somasi, "apa pun ada prosedurnya, orang bersalah juga tidak langsung dimasukkan ke penjara, tapi ke polisi dulu diproses, ke kejaksaan lalu ke pengadilan baru masuk ke penjara."

"Ah, lu wartawan taik semua, lu nulis begitu UUD, ujung-ujungnya duit, abis nulis lu dekati bos gua minta duit, taik lu, " kata Teddy sambil jalan-jalan di seberang meja, tak lagi duduk.

"Eh... Anda jangan begitu ini penghinaan, mana buktinya, TEMPO tidak seperti yang Anda sebutkan," kata saya.

"Eeee lu ngomong bolak balik bisa aja," katanya emosi sambil mengambil tisu kotak kayu dan dilemparkan ke kepala saya, saya tangkis, rupanya kena kawan saya Abdul Manan yang berada di sebelah kiri saya, kena pas di tengah antara mata, dan hidung, luka berdarah, seorang bagian umum mengambil betadin dan mengelapkan betadine ke luka itu, tangan saya yang luka bertambah berdarah, setelah menangkis itu, dan sambil menjulurkan jari tanda minta diberi betadine juga.

"Lo, kok dikantor saya main kekerasan begitu," kata saya kepada polisi yang berdiri di sebelah kanan saya, yang diam saja. Saya langsung menelepon BHM, "Udah deh kalau begitu saya telepon atasan saya." "Panggil kesini segera," kata Teddy dengan suara keras.

Seorang yang bernama Yosep menyela bicara, "Kamu tahu pimpinan kami di Kendari, berarti kamu mengkuti kemana saja bos kami pergi ya?"

Situasi tak jelas karena banyak yang omong namun yang dominan Teddy, Yosep yang menekan-nekan dan yang lain bersahut-sahutan.

Saya telepon BHM, sempat saya pada telepon pertama karena saya punya nomor yang lama. Lalu saya telepon lagi, dan bilang saya tak bisa mengatasi situasi, saya keluar ruang bertemu dengan Kapolsek Menteng. Saya tanya, "Bagaimana nih Pak Kapolsek?"

"Gimana ya selesaikan dong, kan anda yang tahu persoalannya," kata Kapolsek Menteng itu.

Lalu Teddy menelepon, "Nih sudah ada yang nulisnya, disini diapain," katanya. Tak lama kemudian lelaki putih, berbaju jeans biru naik Belakangan saya tahu bernama David alias A Miauw (juga dikenal sebagai tangan kanan Tomy Winata) ia menyerocos terus marah-marah tak jelas minta sumber berita itu supaya dihadirkan sekarang juga. Bahkan ia menyebut-nyebut soal yang berbau rasial. "Jangan mentang-mentang Tomy Winata, Cina, ya, gua cina, buka diskotek, buka judi, lalu lu tulis senaknya."

"Nggak begitu Pak David," kata saya," disini kami pluralis tak pandang suku."

"Lu banyak omong bisa aja balikin omongan orang," katanya sambil dia nyerocos saya lihat mata dia, "E, mata elu jangan melotot ngeliatin gua ngomong gua bunuh sekarang lu bisa juga," kata David emosi. Orang asal Flores, orangnya Tomy Winata mengambil bangku lipat yang ada dikantor mau di pukulkan ke wajah saya, sudah terayun, begitu juga seorang Flores lain yang memakai baju safari biru gelap didadanya tertulis bordiran PMD warna merah. Mendekati saya mau memukul. Entah kenapa tidak jadi saya dikepruk.

Karaniya (kebetulan dia juga keturunan Cina) masuk, saya bersyukur, karena David sudah menggunakan ungkapan rasial. Akhirnya Karaniya yang mengambil alih situasi. Semua penjelasan Karaniya juga tak digubris, dan David serta kembali memaki-maki, "Elu ngomong kayak berak. Gua tiup mati lu!"

Saya kini hanya lesu tertunduk loyo, sebagai manusia saya akui saya takut dan merasa tertekan waktu itu, saya cuma telepon kembali BHM, dia sudah berada di jalan kolong BNI 46, Sudirman. David sudah tak sabar meminta saya ditangkap, dibawa ke kantor polisi, "Ini sudah ada penulisnya dia yang bertanggung jawab bawa saja," kata David.

Kapolsek Menteng juga mendesak saya soal penyelesaiannya. Saya bilang, "Tunggu, pimpinan saya, Bambang harymurti, sudah tak jauh, paling lama 10 menit." Saya masuk ke dalam ruangan, David keluar ruangan menelepon entah kemana, saya mencoba mencairkan suasana. Saya peluk Yosep dan lelaki berbaju safari yang bertampang seperti kawan kita di kantor yang berasal dari NTT juga Saya bilang Anda dari mana? Dari Flores, "Wah satu tempat dengan saya, bapak saya dari Waingapu," "O, kita satu kampung, untung saya nggak jadi ngepruk kamu," kata Yosep, "Kamu kenapa ke depan massa untung kamu selamat."

Saya bilang, "Saya berani karena saya pikir yang di depan saudara saya semua asal flores jadi saya aman," kata saya. Kami mengobrol basa-basi, Yosep menekan saya, "kamu katakan saja siapa sumber kamu, ayo kamu akan aman, aku yang jamin deh, udah jangan takut," katanya sedikit merayu. Saya hanya senyum saja.

Saya keluar ruangan, tak lama kemudian BHM datang dan mengambil semua tanggung jawab berhadapan dengan preman yang tak jelas omongannya, kesana kemari membangga-banggakan diri, mengancam akan membunuh, membakar kantor ini, menjadikan Humanika kedua, bilang kantor TEMPO ini kecil dibeli sama Tomy juga bisa. Dia juga menelepon mengendalikan massa di luar untuk terus menekan.

David dengan sombong juga mengatakan, soal bom Bali, "Tahu nggak yang memberi tahu adanya bom Bali pertama kali ke Kapolri, gua, dia belum tahu gua udah tahu."

Ia juga ngomong soal kebakaran Tanah Abang. "Elu tahu apa soal kebakaran Tanah Abang. Gua tahu titik api pertama kali, kenapa pemadam kebakaran tidak bisa masuk ke pasar. Jadi, lu, jangan sok tahu soal kebakaran tanah Abang," kata David. Apa maksudnya?

Akhirnya sampai situasi, harus ke kantor polisi, agar massa di depan kantor bisa tenang. BHM minta jaminan keamanan dan barikade polisi. Bari kade malah di dalam kantor, untung di luar turun hujan. BHM tampak naik ke mobil Timor milik polisi, dan berusaha mempersiapkan tempat untuk saya berdua.

Tetapi saya ditahan David untuk tidak masuk mobil polisi, saya mulai khawatir diculik dan dibawa ke tempat lain, saya terus berpegangan erat dengan Karaniya. Mobil Land Cruiser hitam milik Arta Graha (tampak dari tanda pengenal diujung kanan dekat sopir) di dalam sudah masuk orang-orang Tomy winata yang tadi ikut menarik-narik badan saya di tengah massa di depan kantor. Karaniya menarik seorang polisi (dadan/dadang untuk ikut masuk ke dalam mobil) di mobil itu sempat bertumpuk-tumpuk. Akhirnya di bangku tengah kami berempat, sebelah kiri saya Haris Sumbi, Ambon yang tinggal di Bendungan Hilir, karena saya pernah bertemu dia beberapa kali di Retro, Hotel Crown, depan Polda Metro jaya, setelah saya ingat-ingat, ia mengiyakan ingatan saya itu. Sebelah kanan saya Karaniya, sebelah kanan nya lagi polisi Dadang tadi. Di depan David dan sopir, dibangku belakang tiga orang dari artha graha, Yosep, si gondrong kurus yang menarik-narik baju saya di depan massa dan lainnya. Akhirnya, kami dibawa pergi, dengan suara sirenenya, nguing-nguing.

Di dalam mobil, David berkata lewat telepon, "Kantor itu lu segel, nggak boleh ada seorang pun karyawan TEMPO yang keluar dari situ, sampai persoalan ini selesai, mengerti?" Katanya entah kepada siapa? Alhamdulillah ternyata kami bukan dibawa kemana-mana tapi ke kantor Polres Jakarta Pusat.

Sudah aman di kantor Polres? Nggak juga, David marah-marah kepada Yosep, "Elu tahu, gua pecat lu, dia kan orang Flores, seharusnya elu yang duluan ijak-injak dia sampai mati." Sejak saat itu tampang Yosep tak lagi bersahabat malah menekan-nekan. Dialah yang pertama kali menggebuk wajak BHM dari belakang di kantor polisi. Buk. Keras juga, sehingga kaca matanya terpental. David, Teddy, dan beberapa preman lainnya juga memaki-maki dan mendorong-dorong BHM di depan kantor Kapolres Jak-Pus.

Saya, BHM, dan Karaniya dibawa ke ruang kerja Kasat Serse Polres Jak-Pus A.R. Yoyol. Masuk ke ruangan kerja Kasat Serse sekitar 5 polisi (beberapa berpakaian preman), David, Teddy, Haris Sumbi, dan sekitar 5 orang David lainnya. David terus mengoceh, soal BHM sebagai komandan yang harus bertanggung jawab, mengancam akan membunuh. "Lu gue tembak juga deh sekarang, kalau gue di penjara dan dibunuh disini nggak takut. Mana, mintain pistol?" kata David.

Dia ngoceh terus menunjuk-nunjuk saya dan BHM. "Lu, kan, orang pintar kalau ngua kan nggak makan sekolah, SD aja gua nggak tamat, tapi gua megang tempat judi di Harco Mangga dua menghidupkan 800 orang, gua bayar mereka Rp 50 ribu tiap hari, lu bisa?"

BHM berusaha menjawab tudingan David yang tak masuk akal dan tak berdasar, dan menyebutkan cara penyelesaiannya secara prosedur yang sudah ada, beberapa polisi reserse ada di dalam ruangan itu juga beberapa orang Tomy Winata. Dari TEMPO cuma saya, BHM dan Karaniya. Lalu David emosi, dan menonjok perut BHM, menendangnya dan memukul-mukul kepalanya, "Ini saking pinternya sampe botak. Karaniya marah dan protes atas perlakuan itu, malah bogem mentah menghantam wajah sebelah kirinya. Keras juga. Saya hanya diam saja. Saya lihat apa yang dilakukan David sudah tidak wajar, menghina banyak orang termasuk polisi dan tentara. "Udahlah polisi sudah gua bayar semua, lampu disini juga gua yang beliin, gua juga ngeluarin duit buat wartawan Rp 150 juta tiap bulan ada daftarnya. Sutiyoso juga gue yang jadiin sebagai Gubernur, kalau kagak mana bisa dia jadi gubernur. Udahlah lu nggak ada ape-apenya jangan macem-macem. Udah deh persoalan ini bisa selesai kalau Ciputra udah ketemu sama bos gue Tomy Winata. Telepon dia!" kata David.

"Wah saya nggak punya teleponnya, sejak handphone saya hilang," kata BHM.
"Ah lu pemimpin goblok nih gua teleponin," kata David. Dia sambungkan.
"Halo ada yang mau bicara nih,'' telepon David pindah ke BHM. BHM ngomong dengan Ciputra. Tapi hanya memberitahukan persoalan saja. Kata BHM kemudian Ciputra bilang kan saya nggak ikut-ikutan urusan redaksi, "Cuma komisaris saja, anda kan yang tangani."

Situasi di ruangan Kasat Serse tak jelas. Saya, BHM, dan Karaniya tak berkutik dan tak bisa melawan. Polisi yang hadir cuma menonton tanpa berusaha mencegah semua tindakan brutal itu. Belakangan, di situ juga hadir Kasat serse Yoyol yang datang setelah penggebukan. Tapi David masih berlaku tak sopan dengan polisi, bahkan merendahkan martabatnya, namun polisi-poilisi itu menerima saja tampaknya. IRONIS, BAHKAN DI KANTOR POLISI HUKUM PUN SEPERTI TAK EKSIS.

Tak lama kemudian, David mengatakan, "Sekarang ini di luar beredar kabar Anda diculik ditangkap, tapi sebenarnya Anda kesini, kan untuk menyelasaikan persoalannya, ya," kata David menekan-nekan.

Kami diminta untuk berbicara di lain tempat untuk bersepakat dan berbicara pada pers, bahwa kami tidak ditangkap, tidak ada kekerasan, tidak ada penggebukan. Beruntung memang banyak kawan-kawan jurnalis yang ikut ke kantor Polres, sehingga, tekanan terhadap kami mulai berkurang. Sehingga di dalam ruangan data di Polres kami mengadakan konprensi pers, BHM lah yang berbicara dan seorang yang mengaku Habib Hamid Alhamid dari Ambon yang mengaku punya pengajian membawa 50 orang massa dengan 2 metro mini dan mendapat makan dari Tomy Winata.

Saat kami di dalam ruangan untuk konprensi pers, sebenarnya kami masih tertekan, karena orang-orang Tomy Winata masih banyak di dalam ruang itu dan depan ruangan konprensi pers. Jawaban-jawaban BHM terkesan diplomatis dan menghindarkan jawaban-jawaban langsung. Wajar kami sudah hopeless, di ruang kantor polisi saja orang-orang Tomy Winata bisa berbuat seenaknya. Siapa yang jamin, apa lagi kabarnya kantor masih disegel dan dijaga orang-orang Tomy Winata.

Saya lebih banyak diam dan mendengarkan pembicaraan. Kesombongan David, ancamannya dan penghinaannya terhadap profesi jurnalis dan polisi, begitu juga setelah dipindahkan ke ruang Kapolres Jakpus dan hadir Kapolres AKBP Sukrawardhi Dahlan, yang juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan, Teddy Uban lalu mengontak Kapolda melalui HP-nya. Setelah tersambung, HP itu diserahkannya ke Kapolres. Kapolres terdengar bicara, "Siap, Jenderal. Siap, Jenderal" Setekah itu ia bilang ke BHM, "Wah, ini sudah jadi urusan di atas. Saat ini Kapolda sedang membicarakan nasib saya ke Kapolri". Ia lalu menguliahi kami, bahkan Kapolres cenderung mengarahkan agar TEMPO, membuat pernyataan permohonan maaf pada Tomy Winata karena berita yang telah dibuat itu fiktif. Tapi BHM tetap berkelit dan tak mau ada pernyataan itu.

Yang keluar akhirnya adalah pernyataan bersama, yang dikonsep oleh Karaniya dan Haris Sumbi (dari pihak Tomy Winata) di ruang lain. Baik David alias A Miauw dan Kapolres meminta agar TEMPO menyatakan semua kejadian dianggap selesai disana, namun berkali-kali soal permintaan maaf TEMPO diminta oleh David, Teddy, dan kapolres. Tapi BHM bertahan. Akhirnya, pernyataan bersama itulah yang keluar, yaitu akan menyerahkan persoalan itu dengan lewat jalur hukum. Di pernyataan itu, David alias A Miauw menyatakan diri sebagai YANG MEWAKILI TOMY WINATA. Kami keluar dari ruang Kapolres, bersalam-salaman (hanya basa basi), persoalan sesungguhnya masing menggantung. Kenapa kekerasan bisa terjadi, bahkan di kantor polisi? Saya sudah putus asa.

Penutup

Saya kawatir sikap kritis jurnalis akan digadaikan dengan ketakutan dan terror. Baru menghadapi seorang Tomy Winata yang punya saham di Hotel Borobudur, kelompok Artha Graha Grup, sejumlah tempat hiburan dan judi. Tekanan yang lebih besar akan terus terjadi dari orang-orang lain yang punya kekuasaan secara politik, punya uang, punya senjata, punya otorisasi menangkap, menculik, membunuh dan punya massa. Persoalan ini harus diselesaikan secara tuntas. Saya minta David, Teddy, Yosep, Hamid Al-Hamid, dkk di proses secara hukum dan adil sesuai andil yang mereka lakukan dalam terror ini. Juga Tomy Winata dimintai pertanggung-jawabannya. Kalau tidak bakal bisa terjadi pada siapapun dan institusi manapun. Situasi bisa terjadi seperti Zaman Soeharto (orde baru) atau bahkan lebih buruk lagi seperti terjadi di Kolombia, Amerika Latin, ketika mafia kartel barang-barang terlarang menguasai negeri. Saya tak tahu harus berbuat apa?

Jakarta, 10 Maret 2003, pukul 04.45 WIB

Ahmad Taufik
Wartawan MBM TEMPO
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta

Catatan:
Mungkin ada yang terlewat, atau kurang jelas, bisa dikonfirmasikan kepada masing-masing pihak yang saya sebutkan dalam cerita itu di atas. Inilah yang sementara saya bisa rekam dalam waktu hampir lima jam. Diselingi minum pocari sweat, air putih dan madu, sesekali ke kamar kecil. Banyak teman-teman yang membantu dalam proses pendinginan suasana dan melepaskan tekanan sedikit semi sedikit, termasuk kawan-kawan jurnalis lainnya, saya mengucapkan terima kasih. Begitu juga simpatisan yang bergerak untuk melawan ketidakberadaban itu, baik yang lewat SMS, yang dikirimkan kepada saya dan kemana-mana, maupun yang membuat pernyataan tertulis, serta aksi-aksi nyata yang dilakukan. Saya masih tertekan secara psikis, tetapi saya dan teman-teman di TEMPO tidak takut untuk melawan. Terima kasih

Tuesday, March 11, 2003

" Twister is home "


Uh! Senengnya barusan dapet katalog dari Utrecht University dan International School for Humanities and Social Sciences, Universiteit van Amsterdam yang gue pesen waktu ke pameran sekolah dulu itu. Jadi membangkitkan semangat lagi nih! Tapi kayaknya tetep ngga keburu juga sih kalo daftar ini untuk ikutan beasiswa STUNNED. Gue belum submit application kemana-mana, belum lagi harus nunggu Admission Letter kalo disetujui sama universitasnya, belum lagi terjemahin transkip, belum lagi harus tes TOEFL, bla-bla-bla...padahal batas akhir 31 Maret ini. Ugh! Niat gak sih sebenernya?? Hmmm...yah paling ngga masih ada Chevenning sampai akhir April 2003, dan kalo ternyata kelewat juga...*drooling*...maybe someday...

Hari ini ada disaster di daerah rumah gue di Pondok Labu. Kejadiannya pas jam 2-3 an tadi. Di kantor sih adem ayem aja perasaan, cuma geledek-nya aja yang super kenceng, disusul ujan deres. Pas jam 4-an nyokap telpon ke kantor, laporan kalo di rumah tadi ada hujan es. Gue pikir cuma cerita gitu aja jadi gue becandain terus, eh ternyata ngga cuma hujan es, karena ada angin puting beliung yang memporak-porandakan ketentraman daerah gue. Suasana heboh dan mencekam ternyata. Pohon-pohon banyak yang tumbang nutupin jalan, di tengah suasana hujan es-petir-angin barat. Antena rumah gue aja salto dari atas ke bawah! Jalan di depan daerah rumah juga terendam banjir dan banyak mobil terjebak macet karena pohon-pohon tumbang tadi. Suasana di dalam dan di luar rumah panik. Parahnya lagi, tetangga sebelah punya pohon palem yang tinggi dan gede-gede, berderet sepanjang sisi samping rumahnya. Udah aja, banyak dahan-dahannya yang terbang dan ngejatuhin genteng rumah gue, memporak-porandakan semuanya, termasuk pompa air yang sekarang mati. Pokoknya rame, karena menurut nyokap, sepanjang umurnya hidup disini, ngga pernah ada yang namanya hujan angin barat separah tadi itu. Untung bukan twister yang dateng tadi, meskipun anginnya tetap aja bikin suasana heboh!

Suasana hati gue jadi ngga enak inget dua kejadian yang berbeda tadi. Disatu sisi gue saat itu lagi nyaman-nyamannya di kantor becanda sama anak-anak, di sisi lain, ortu ternyata lagi kesusahan. Mana adek-adek gue pas madol keluar rumah semua, lagi, ninggalin ortu sendiri bareng keponakan gue yang kecil. Kebayang deh gegap-gempitanya mereka. Tapi syukurlah ngga ada kerusakan yang terlalu berarti sewaktu gue pulang tadi, setidaknya ngga seburuk seperti yang gue bayangkan tadi...
*sigh*...mimpi apa ya gue semalem??

ps: Denger kabar katanya di Bandung juga ujan es yah??

Friday, March 07, 2003

" Distracted "

Aku tertawa pada marah
Aku mencibir pada sedih
Dan aku terbahak pada kesepian
Lalu aku terhempas
Kelelahan...

Aku tersadar
Aku terkapar
Dan jiwaku berteriak
Nadiku bergolak
Siapakah aku sebenarnya?

ps: Inspired by Sutardji Calzoum Bachri, The President of Indonesian Poetry, running on Sunday, March 9th, 10.05pm, Maestro Metro TV.

Wednesday, March 05, 2003

Uuhhh...kok jadi begindang??? Sueer...tadi pagi keluar semua yang di tabel sebelah kanan itu :(
Menyenangkan deh ah kalau akhirnya begadangnya gue kali ini berakhir happy ending...mermaidslife punya layout blog terbaru yang akhirnya selesai juga...tumben-tumbenan juga otak gue jalan...wis, beres semuah...sejauh ini masalah script archives, juga comment yang sempet ngilang, beres sudah....tinggal isi-isiii...*kipas-kipas*
Grggrrhhfff...*%#$@*!!
Tidak mampu berkata apa-apa lagi...dasar internet lemot, blogger lemot, jadi aja pada celeng gini layoutnya!! huh!! Semakin pagi bukannya semakin lincah!! huuu...!! %&@&*!!#%!!