Thursday, June 26, 2003

Ah, Pak Sapardi!


Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono

------------------------

Dua hari ini intens ketemu Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang seorang Sastrawan juga mantan Dekan Fak Sastra UI, yang profilnya akan diangkat untuk tgl 6 Juli. Berinteraksi dengan puisi-puisinya yang sangat sederhana memainkan kata-kata, tetapi justru maknanya jadi begitu membumi.

Rabu tgl. 25 malam, stockshot acara "Musikalisasi Puisi Sapardi Djoko Damono" di Warung Apresiasi Bulungan. It was soo great! Keren banget! Puisinya jadi hidup setelah dijalin dengan suara gitar akustik dan suara penyanyinya, Reda, Nana, dan Ari. Puisi-puisi seperti; Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Akulah Si Telaga, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate SF, Pada Suatu Hari Nanti, Ketika Kau, dan banyak yang lain, digubah menjadi lagu-lagu yang menghanyutkan perasaan. Setidaknya terdengar begitu buat gue, yang sebelumnya tidak tahu sama sekali puisi-puisi si Bapak. Acara di Bulungan dilanjutkan lagi besoknya di Kampus UI Depok dan di rumahnya di Ciputat.

Ternyata efek kata-kata puitis Pak Sapardi terasa seperti mantra sihir buat gue. Karena ternyata, baru gue sadari, gue banyak menulis tentang hal-hal sederhana seperti yang di tulis si Bapak. Dan selama ini gue berfikir, kata-kata sederhana tidak bisa menjadi kata-kata yang besar pengaruhnya, setidaknya jika dibandingkan dengan penyair-penyair besar macam Rendra, Taufik Ismail, atau siapapun. Hal itu yang membuat gue ngga pede mempublikasikan larik-larik puisi yang gue buat. Tetapi ternyata, kesederhanaan itulah yang membuat nama Pak Sapardi menjadi besar. Dan kesederhanaan itu juga yang membuat kepercayaan diri gue timbul lagi. Ternyata tidak ada yang salah untuk menjadi sederhana.

Thanks to Erly yang keep semangat mempromosikan sajak-sajak Pak Sapardi! :)

Catatan: "Musikalisasi Puisi SDD" ini sudah direkam menjadi 2 album, salah satunya berjudul "Hujan Dalam Komposisi" dan sekitar 2 bulan lagi akan beredar album ketiga. Untuk tahu lebih jauh latar belakang pembuatan album Pak Sapardi, silahkan berkunjung ke blog-nya Neenoy.
-----------------------------------------------

Debu, Angin, Matahari, dan Layang-Layang

Ternyata, debu, angin, dan matahari
bukan sesuatu yang ganjil untuk mengatakan
bahwa kucinta dirimu
Bahkan juga layang-layang

Thu, June 26, 2003, 21.06 at M36

Tuesday, June 24, 2003

Look Behind Your Shoulder, There Might Be A Star Shining


Tadi pulang kantor mampir bentar ke Aksara bareng Novi ma Bombom, liat pameran hand-writing yang pernah gue posting itu. Ternyata cuma tinggal beberapa aja yang masih di pajang di tembok. Gak asik banget. Cuma tentang Golden Letters aja yang menarik minat gue, tentang korespondensi antara Raja-raja Jawa dan Kesultanan Bone dengan Pemerintah Kolonial Inggris. Seru juga, mereka nulis pakai tulisan Arab tetapi dengan bahasa Melayu. Melayu yang di-Arab-kan, Arab yang di-Melayu-kan. Terus ada juga surat-surat Raffles ke Raja Bali yang minta dukungan untuk mendukung Pemerintahan Inggris dan tidak mendukung Belanda yang mau masuk ke Indonesia lagi. Raffles menulis dengan bahasa Melayu Arab juga.

Hmm...menarik sekali yah Indonesia itu. Semakin tahu, semakin banyak yang ngga gue ketahui ternyata. Gue pernah ngobrol-ngobrol ngga sengaja sama temen sekantor yang gue akui hebat banget pengetahuan tentang sejarah dan silsilah Indonesia-nya. Awalnya kita lagi bicarain tentang Gus Dur yang katanya ngaku keturunan Chinese. Terus dia ceritain tentang asal-muasal tanah ini yang akhirnya bernama Indonesia.

Dari mulai cerita tentang perpecahan kerajaan Majapahit, Singosari, dan Demak, di daerah Jawa Tengah. Terus tentang Perjanjian Giyanti antara Belanda dengan Kesultanan Jogja, dimana memicu pecahnya Kesultanan Jogja menjadi Jogja dan Surakarta. (Bisa dilihat disini, mana yang nasionalis, mana yang jadi beking Belanda).

Wah pokoknya seru banget denger cerita temen gue itu, jadi keinget saat-saat di SD. Tentang Ken Arok dan Aryo Penangsang aja dia masih inget! Belum lagi asal-usul cerita tentang masyarakat Tengger di daerah Bromo yang masih beragama Hindu, meskipun mereka bukan orang Bali. Mereka ini dulunya penduduk kerajaan Majapahit yang setelah dikuasai oleh Kerajaan Demak, menolak ajaran Islam dan memilih pindah.

Orang Baduy di Banten juga salah-satunya yang dulu menolak masuknya pengaruh Islam di tanah Sunda, setelah Kerajaan Padjajaran pecah. Ada lagi ceritanya, tapi gue lupa. Hmm..bisa jadi nenek moyang Gus Dur ada yang berdarah Mongolia yang memang pernah mendarat di sini. Atau mungkin dari pedagang-pedagang Cina yang kemudian bercampur dan berasimilasi dengan penduduk asli. (Gue aja kecipratan darah Arab dan Cina!)

Kalau dihubung-hubungin, pantes aja orang-orang kita ngga pernah bisa yang namanya lepas dari unsur mistik dan klenik. Lah wong asalnya juga animisme-dinamisme, percaya sama roh-roh. Tapi gila juga sebenernya kalau mau digali dari sisi budayanya. Budaya kita kaya banget! Apa coba yang ngga ada disini? Orang Kutub mungkin, berhubung dia ngga kuat aja tinggal di alam tropis!

Setelah denger cerita temen gue itu, jadi mikir juga tentang asal-usul gue sendiri. Menarik juga mikirin kehidupan dan peradaban orang dulu itu bagaimana. Apa yang mereka lakukan sehari-hari, apa yang terjadi, lalu apa yang kemudian melenyapkannya. Rasanya seperti dongeng, tapi harus percaya bahwa itu pernah ada dari yang masih tersisa di museum-museum.

Tapi kenapa yah, makin kesini, gue kok makin pesimis kalau pelestarian budaya itu akan dianggap penting. Dan rasa-rasanya memang tidak yah? Setidaknya dari pemerintah dan swasta sendiri. Sejarah keagungan dan peradaban kita semakin terkubur dalam-dalam di bawah pilar-pilar bernama pembangunan masa depan dan modernisasi.

Hmm...kalau akarnya saja kita tidak tahu dari mana dan dimana, bagaimana kita akan menjulang tinggi menjadi dahan-dahan yang kokoh? Oh Indonesia, nasibmu...

Wednesday, June 18, 2003

Hard Work Will Pay You Back


Selasa kemarin iseng dateng ke pameran tunggal F. Widayanto, keramikus, yang mengadakan pameran karya terbarunya, Dewi Sri, di Galeri Nasional, Jl. Merdeka Timur. Pamerannya berlangsung cuma sampai hari ini, tanggal 19.

Sendirian aja, emang dasar kurang kerjaan. Sebenernya karena tergiur dengan note di bawah undangan, bahwa undangan dapat ditukarkan dengan souvenir...hmm..souvenir keramiknya Widayanto, siapa yang ngga pengin? hehe...

Gue sampe jam 7.30 pm, telat 30 menit dari yang tercantum di undangan. Di pintu gerbang masuk Galeri dipasang 2 janur, dan di anak-2 tangga di tengah taman di pasang berjejer lampu-2 yang dibungkus pelepah batang pisang. Gue milih jalan lewat tengah taman karena pengin mendapatkan kesan alami yang udah gue rasakan sejak melewati gerbang utama. Kayaknya, ide lampu di pelepah pisang lebih menarik, ketimbang melewati mobil-mobil mewah para undangan.

Suasana menuju ke Galeri cool abis. Widayanto mengemas konsep pamerannya benar-benar seperti suasana pedesaan, sesuai dengan tema keramiknya. Di speaker, kombinasi suara jangkrik, cengcorang (?), kumbang kelapa (hayoo...udah tau belum kayak apa bunyinya? :D), air gemericik, plus gending lagu sunda, syahdu banget kedengarannya, berasa di desa Cianjur deh! (berasa doang, padahal belom pernah kesana!). Sayang, full packed of people bikin suasana jadi berisik kayak pasar malam.

Waktu naik tangga menuju ke dalam ruang pameran, gue excited juga pengin tahu konsep apa yang Widayanto siapkan untuk ruang di dalam. Karena gue tahu (cieh, sok kenal banget!) dia gandrung banget sama yang namanya tradisi. Pasti artistik, begitu pikir gue. Dan bener aja, di tengah-tengah ruangan, sekitar 30 keramik Dewi Sri tersebar di antara padi-padi yang sengaja di set seperti layaknya di pesawahan. Bau bunga sedap malam tercium di mana-mana. Suara jangkrik masih mendominasi, tetapi sekarang lebih 'hidup' karena berada di tengah-2 'sawah'. Selain di ruang utama, ikut dipamerkan juga karya-karya lukisannya yang semuanya menggambarkan keeksotisan Sang Dewi.

Yang menarik adalah, saat dia menyiapkan pameran ini, sekitar pertengahan 2002, gue kesempatan meliput proses kreatifnya saat buat keramik Dewi Sri di rumahnya yang sangat luas di Tapos, dekat peternakannya Pak Harto.

Yang masih gue ingat, dia pernah bilang bahwa membuat keramik itu seperti bagaimana kita memperlakukan hidup. Ia melatih kita untuk sabar dan menghargai proses. Belajar untuk menerima setiap kegagalan, karena sering apa yang kita dapatkan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, bahkan gagal sama sekali. Dan jika gagal, harus dimulai lagi dari awal, karena dalam seni keramik, sekali salah dalam menentukan jenis atau ketebalan tanah liat, waktu pembakaran, maupun percampuran warna, maka hasil akhirnya dipastikan akan salah pula. Diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan kerja keras. Karena itu, kadangkala satu keramik yang berhasil dibuat, harus melalui rentetan kegagalan-kegagalan yang tak terhitung banyaknya.

Lewat keramiknya, gue belajar untuk menghargai proses dan kegagalan. Dan lewat 30 karya-karyanya, yang gue lihat bukan karyanya yang sangat indah, detail, dan eksotis itu, tapi kerja keras dan proses di belakangnya.

Dalam hidup, sering yang kita temukan adalah kegagalan dan sedikit keberhasilan. Tetapi hanya orang yang percaya bahwa proses, juga kesabaran dan kerja keras, akan selalu berbuah hasil yang baik, yang berani menghadapi kegagalan. Kadangkala, kita hanya terpaku pada hasil akhir yang sempurna, tetapi lupa bagaimana untuk bangun jika kegagalan yang kita dapatkan.

Well, it was not a bad idea to go to his exhibition after all, right? :)
Early Edition of Independece Day


Today was just a usual day, still working on the Maestro's upcoming episodes, S. Bagio, the late Comedian, and Sapardi Djoko Damono, a Poet and Writer. Some daunting task that should be done in the next few days are episodes for August's edition.

For some Indonesian, August means special. Full of events, excitement and joyful everywhere. Not just because we celebrate the Independence Day each August 17, but also because it means HOLIDAY, a day off to do obligation (Indonesian are REALLY love holiday! ;)).

There must be some ceremonial since in the morning, from Presidency to other govermental institution or school (this is usually an obligation from their intitution, that also means hell, to see the responsibility and loyalty of each one, actually to their intitution, not to the country).

Then, after the ceremonial, it comes to the event that's actually more expected than anything, some games played only in Independence Day. Games that actually not related to the event, but more to the excitement and the joyful itself which usually played in a team work. Everyone is enjoy the games, which to me, it reminds to my own childhood.

For some people who luckier not obliged to attend the ceremony, they could pick any activity they want, either sleep all day long, couch potatoes, go shopping around the malls, or participating the crowd around their neighbourhood.

Except those particular thing, usually in each neighbourhood or intitution, there are other events run in the whole month, usually in contest or exhibition among their own community or with different area, such as; decorating the neighborhood, cooking contest, Mom and children activities, art & culture exhibition, etc. But though some places still engage into these custom, some don't bother anymore. Just like other tradition, people seems not too interested to participate anymore, except for the global thing happens in the world.

So, considering to its historic background, so we're working on episodes that would profile some well-known people in history whose effort and vision was deadly brought only for the independence of this country's sake. They are; Soekarno (1st President and the Proclaimer), Moh. Hatta (1st Vice President and also the Proclaimer) - it's re-run, Sultan HamengkuBuwono IX (2nd Vice President), Adam Malik (3rd Vice President), Sutan Sjahrir (Prime Minister), and Moh. Natsir (Prime Minister).

All are great people, though their name only remain in the history book. Rarely we know about their thoughts and how important their roles were when establishing the new-born Indonesia, over decades ago. At least, not that important rather than expecting the latest gossip about celebrity or ghosts-superstition TV shows that now felt overexposed. Seems ironic to me.

Tuesday, June 17, 2003

Anyone? ;)

British Council Indonesia, the Swiss Embassy and JakArt proudly present Creativity and Contents: The Indian from St Gall and Golden Letters - an exhibition from 13 - 28 June 2003 at Ak Sa Ra Bookstore, Jl. Kemang Raya 8B, South Jakarta.

The "Indian" from St. Gall
Handwritings and drawings of Georg Franz Müller (1646 - 1723), a world traveler of the 17th century. Indonesia with its cultural and ethnical diversity at a time it was almost untouched by a cultural influence of the West is portrayed in the amazing old handwritings and drawings of Franz Georg Müller Müller during his journey (1669 - 1682) as a VOC soldier from Holland via South Africa to Indonesia where he lived for 13 years. His drawings are painted very close to the nature and are precious relics of the past, the past of an unexplored Indonesia in the 17th century. It captures impressions of a European travelling through an exotic world with its rich traditions and beautiful flora and fauna. The prints are taken from the book The "Indian" from St. Gall which was summarized and narrated by Dr. Karl Schmuki on the basis of manuscripts of the Abbey Library St. Gall - Switzerland (UNESCO WORLD HERITAGE).

Golden letters, Writing Traditions of Indonesia
This special exhibition celebrates more than four centuries of contact between Britain and Indonesia by displaying reproductions of a number of rare manuscripts held in British collections. These correspondence between Indonesian rulers and British dignitaries were originally displayed as part of a much larger exhibition in 1991. They illustrate the breadth and scope of the writing traditions of Indonesia, which have produced histories and genealogies, legal digests, prose and poetic works of literature, divination calendars and theological and moral digests. These Golden Letters are evidence of the historical ties which exist between Indonesia and Britain and which started when Francis Drake, the British explorer, arrived at Ternate in 1579.

For information, write email or visit the website at British Council. FREE Admission. Everyday 10.00-22.00

Tuesday, June 10, 2003

Untuk Mi, dimanapun kamu berada...

Aku ingin mengenangmu
seperti saat aku mencium bau udara pagi
saat dinginnya halus membelai wajahku
saat desirannya berbisik lembut di telingaku

Aku ingin mengenangmu
seperti saat terik matahari membakar rasa rinduku
saat hangatnya menerbitkan peluh penuh gelora
saat aroma tubuhku mencair tertiup angin

Dan aku ingin mengenangmu
seperti saat cinta menjalari sukmaku
saat rindu menyelinapi kegelisahanku
saat namamu menggetarkan riak suaraku

Aku ingin mengenangmu
seperti dulu, sekarang, dan nanti
selamanya dalam hidupku

Aku cinta padamu

Mon, June 9, 2003, 7.45 pm