Tuesday, May 20, 2003

" Gus Dur, oh Gus Dur "


Fiuuhhh...I'm starting to feel as a real journalist nowadays, a REAL one with high pressure and tight deadline. Each day seems run after another and 24 hours seem not enough. Not because I have different pressure before, just the people I'm dealing with, are some kind of 'untouchable' people for their important role in politic and society. Not to mention the layers protection from their private securities to avoid people like me.

Spent 32 days working out of the city, Jakarta, doesn't mean the job is finish when we got home. In other word, it's a never ending job. It's getting more hectic when at office, my producer feels the source we've got is not enough to make a 19 minutes' show. So, everyday is like in hell. Episodes for next show keep running in my head, make me forget what day today.

----------Enough for English, males mikir------------

Deadline di depan adalah tayangan KH Hasyim Asy'ari tanggal 1 Juni, tapi harus udah masuk ruang editing hari Jumat ini. Semua bahan liputan di Tebu Ireng, Jombang, juga hasil wawancara dengan tokoh-tokoh terkait seperti KH Yusuf Hasyim, Pengasuh Pondok Pesantren, juga Salahuddin Wahid, lagi di proses. Cuma satu tokoh yang sekarang bikin kepala cenut-cenut karena susahnya diminta waktu wawancara, yaitu Gus Dur. Statement dia dirasa penting, karena dia cucu dari Hasyim Asy'ari, pendiri Tebu Ireng dan salah satu pelopor NU, dimana GD tentunya sangat mewakili untuk bicara ini, tentang pentingnya posisi kakeknya itu dalam proses kemerdekaan dan setelahnya, juga peletakan dasar pendidikan pola pesantren yang dijadikan bahan rujukan pesantren-pesantren lain. Keberadaan Tebu Ireng sangat penting sampai sekarang, karena dianggap sebagai tonggak kebangkitan umat, khususnya NU, dalam pergerakan nasional. Usianya bahkan lebih tua dari negeri ini. NU dan juga Muhammadiyah yang didirikan lebih dahulu oleh KH Ahmad Dahlan, pada masanya berperan aktif sebagai filter pendidikan dan budaya dari pengaruh kolonial Belanda dan Jepang.

Tayangan KH Ahmad Dahlan udah lebih dulu ditayangkan, tanggal 11 Mei kemarin. Responnya sangat bagus, baik dari Muhammadiyah, juga dari pemirsa. Bahkan saking banyaknya permintaan untuk menambah jam penayangan untuk episode ini, Metro TV berniat membuat episode khusus KH Ahmad Dahlan untuk program Metro Files. Kemarin pihak Metro minta ijin dari kita sebagai pemegang copyright-nya. So, ini menjadi tantangan sekaligus tekanan untuk membuat episode KH Hasyim Asy'ari sebaik KH Ahmad Dahlan. Setidaknya pentolan-pentolannya seperti GD itu bisa diwawancara, seperti halnya Amien Rais dan Syafii Ma'arif untuk penayangan Ahmad Dahlan. Untungnya gue dibantuin Novi untuk ngejar Hasyim Muzadi, Ketua PBNU. Kalau ngga, wah, ngga kekejar semua. Gila, orang-orang NU sangat super sibuk. Sehari aja bisa keliling ke beberapa daerah. Belum yang kayak GD.

Sebenernya waktu di Surabaya, gue udah depan-depanan sama GD, nyegat dia pas turun di Bandara Juanda. Tapi keliatannya mood dia lagi bete banget, karena pesawat dari Malaysia terlambat. Padahal dia harus ke Madura siangnya, terus ke Surabaya lagi untuk Press Conference (tentang IMF), trus langsung ke Gresik dan Jombang malamnya. So, daripada gue ditendang pengawal-pengawalnya, gue batalin nagih wawancara. Sebenernya bisa aja sih kalo nekat...tapi pengawal-pengawalnya aja pada mundur liat dia spaneng, apalagi gue! Dan karena pada saat yang sama harus pula liputan Budi Darma, sastrawan yang juga mantan Rektor IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya atau Unessa), juga sorenya harus wawancara temen seperjuangan Bung Tomo, so gue putusin, ngga dateng pas GD Press Conference di Surabaya jam 5 sore, which is, it was a WRONG decision! Seharusnya bisa aja gue switch ke hari lain untuk tokoh yang lain, dan konsentrasiin ke GD, sekedar sepatah-dua patah kata perkenalan sebelum bener-bener wawancara. Jadi ngga sesulit ini nembus ke orang-orang di sekitarnya. Tapi ya sudahlah, udah terlanjur janji sama orang. Ntar dibatalin yang ini, GD tetep ngga bisa diwawancara. Bete banget sih...Udah di depan mata ne'!! Nyeseknya kayak apa kemaren itu...

Besok sore, setelah menghiba-hiba ke sekretarisnya, gue dikasih clue kalau sekitar jam 4 sore GD bakalan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta setelah perjalanan ke Jawa Timur paginya. Moga-moga besok ada kesempatan wawancara bentar, mengingat deadline-nya Jumat...arrrghhh!! Please, God...*berdoa*...Ayo dong Gus, ketemu sama Inul aja disempet-sempetin, masa buat Mbah Hasyim ngga bisa sih?

Terus, cerita belum selesai sampai disini...kekisruhan gimana caranya dapat wawancara dalam waktu singkat, diperparah karena, Kamis pagi gue harus ke Jogja (lagi) selama dua hari, untuk wawancara Sultan HB X jam 8 malem. Kepastiannya baru didapat siang tadi lewat sekretaris Gubernuran, setelah such a long long time approaching. Jadi pas ke Jogja kemarin, cuma tentang HB IX aja yang bener-bener miss semuanya. Ijin ngeliput keraton dan Museum HB IX sebenernya udah di tangan, tetapi ternyata, birokrasi lain ngga ngasih ijin sebelum gue wawancara Sultan. So, waktu kita yang harusnya on schedule 4 hari liputan kelar, jadi mundur 6 hari, dan do NOTHING, karena ketidakpastian dan keribetan birokrasi itu tadi.

Sebenernya ngga sulit ketemu Sultan, asal sabar nunggu waktunya. Cuma karena gue ngga ngerti seluk-beluk perijinan di Jogja, juga celah-celah ke orang-orang yang berhubungan dengan Sultan, ditambah padatnya jadwal beliau, jadi makan waktu lama. Belum lagi urusan paper work yang ternyata bikin sakit kepala, karena setiap orang minta surat lagi, minta surat lagi. Padahal urusan begitu bisa sangat merepotkan jika udah lapangan dan di luar kota pula. Belum lagi dioper-opernya. Sangat membuang waktu kemaren itu. Padahal masih harus liputan ke Jombang, Surabaya, dan Semarang. Ditinggal pergi, nanti takutnya Sultan bisa diwawancara dan mesti ketemu dalam waktu dekat, padahal kita udah terlanjur di Jawa Timur (kecuali kita liputan pakai Helicopter!). Ditungguin juga ngga ada kepastian kapan bisanya. Pokoknya serba salah banget. Gue juga rada diomelin Pak Ud (KH Yusuf Hasyim) karena jadwal wawancara di Jombang jadi ngga karuan, ngga sesuai dengan schedule semula. Semuanya jadi mundur gara-gara ketahan di keraton.

Gue sempet juga sih ke kantor Gubernuran di Malioboro, mau nyegat disana. Disana ada ruang khusus wartawan, yang boleh nunggu untuk keperluan reportase. Wah, orang-orang pada panik liat gue yang sok-sok-an mau ketemu sebentar sama Sultan, sekedar tanya kapan ada waktu wawancara sebentar untuk mengomentari Bapaknya. Soalnya saat itu pas lagi ada kunjungan tamu dari Malaysia, tentang prospek investasi di Jogja...Ya iyalah, gue juga ngga segitu begonya mau interrupt orang pada saat yang tidak tepat kayak gitu. Heran deh orang-orang itu.

Berhubungan dengan orang-orang di lingkungan Keraton juga ada cerita tersendiri, apalagi waktu dapat kesempatan ketemu dan wawancara adiknya Sultan, GPBH Yudhoningrat. Walah...itu yang namanya sungkan, salah tingkah, baru kali itu. Biar orang Jawa, tapi urusan 'uweh pakewuh' khas orang JAWA, apalagi Jogja, bener-bener ngga ngerti gue. Apalagi ini mesti ketemu orang-orang berdarah ningrat, dan berada di DALAM lingkungan kerajaan, yang pastinya punya tata krama sendiri. Lain kalau mereka ada di Jakarta misalnya, kesungkanan terhadap bau-bau keningratan ataupun jabatan tinggi bisa gue atasi, karena mereka berada di LUAR lingkungan mereka. (Atau mungkin karena gue ngerasa Jakarta itu daerah sendiri, makanya lebih pede).

Buat gue yang biasa hantam kromo, masalah-masalah sepele bisa bikin senewen. Seperti misalnya, apakah harus melepas sepatu sebelum masuk ke kediaman atau boleh saja dipakai. Karena ada juga kebiasaan sebagian orang yang 'tersinggung' kalau alas kaki dilepas. "Memangnya di mesjid?", biasanya begitu komentar mereka. Atau apakah boleh duduk dulu sembari menunggu tuan rumah dipanggilkan, atau harus terus berdiri sampai dipersilahkan. Atau memilih kata-kata mana yang sekiranya sopan dan 'njawani' supaya tidak menyinggung martabat dan harga diri. Belum lagi kekikukan apakah boleh berakrab-akrab untuk mencairkan suasana seperti yang biasa gue lakukan kepada orang-orang 'biasa', atau dilarang untuk kalangan tertentu. Bahkan gue juga mesti hati-hati untuk menyebut nama Gelar, karena memiliki simbol dan arti khusus...

Yah, hal-hal yang ngga pernah gue bayangkan bisa bikin sakit perut dan keringat dingin. Nyesel juga gue kenapa ngga bisa bahasa Jawa, meski sekedar 'conversation' seadanya biar ngga terlalu kikuk di daerah orang. Ini aja masih sering ketuker antara mau ngomong "Maturnuwun" dan "Nuwunsewu"! Parah banget kan?

So, dalam minggu ini gue harus bisa dapetin GD sebelum berangkat ke Jogja, Kamis besok....Arrghh!! Berarti cuma hari ini waktunya!! Baru sadar gue! Setelah Hasyim Asy'ari kelar, masih ada kesempatan nafas bentar karena 3 episode berikut dikerjain Novi. Pusing juga dia sekarang mikirin bahan dan narasumber. Kejar tayang terus, kapan maennya nih gue??

Ok, berhubung sudah sangat panjang meski baru cerita tentang GD dan Keraton aja, so laporan pandangan mata mungkin gue bikin edisi khusus kali yee?? ;) Gue sebulan di luar kota loh, banyak yang pengin ditulis. Ngga mungkin ditulis semua di blog. Mungkin nanti kalau semuanya lancar. Bantuin doa yaa...

No comments: