Sunday, November 17, 2002

" Scene of Life "

Wups! Rani barusan telp. bilang kalo buku tentang "Mari Membuat Film - Panduan Menjadi Produser" tulisan Heru Effendy, ternyata tinggal satu-satunya di Gramed PI. Gile, padahal Jumat kemaren masih setumpuk!

Gue liat buku itu, di deretan kedua buku-buku di depan kasir, setetangga dengan buku-buku sastra. Love at first sight, langsung gue samber, takut pikiran gue berubah. Waktu itu emang lagi cekak banget duit di kantong, makanya sempet nimbang-nimbang beli atau ngga. Biasalah, otak nunda-nunda gue berbisik "ah besok aja ah, masih banyak ini". Untung aja, dengan pertimbangan "liat aja besok", gue nekat beli meski kantong tiris...hehe, pertimbangan yang ngga lebih baik!

Sebagai orang yang awam banget di bidang film-making, rada susah juga nyari buku referensi tentang film dalam bahasa Indonesia, dan ini juga diakui Mira Lesmana yang nulis Kata Pengantar-nya. Sebenernya niat bisa bikin film terlalu muluk buat gue. Selain dari background yang jauh banget dari Ilmu Sinematografi -gue dulu ambil manajemen- kayaknya udah terlalu tua buat gue (akhirnya ngaku! ;)) untuk belajar lagi dari awal. Apalagi gue takut, kelakuan gue yang moody ini kumat pas udah di tengah jalan. Sempet niat juga sih mau kuliah di IKJ, ambil Sinematografi/Dokumenter atau ambil kursus Camera. Tapi ah gue pikir, terlalu risky. Masih banyak yang belum jelas dari tujuan hidup gue, masih belum fokus apa yang sebenernya gue mau (karena maunya banyak!). Jadi sementara ini, gue ikutin aja alur hidup sambil mempertajam visi ke depan...cieh, gayanya kalo ngomong!

Rasa ingin tahu tentang visi gambar terasah setelah gue kerja di Indra, khususnya Maestro yang sarat dengan informasi yang dikemas sebagai program semi-dokumenter. Laporan hasil wawancara atau cerita sebagus apapun, ternyata ngga berarti apa-apa, kalau ngga ada gambar yang menerangkan hal itu, karena medianya adalah TV bukan cetak. Memang susah-susah gampang sih. Kadang ada informasi yang sebenernya bagus untuk ditayangkan, tapi karena gambarnya ngga ada, jadi informasi itu lewat gitu aja, mentok-mentok cuma disampaiin lewat narasi.

Belajar dari orang-2 kantor, liat referensi dari program-2 dokumenter di National Geographic atau Discovery Channel, gue jadi lebih ngerti komposisi gambar yang bagus harus bagaimana, angle-nya, lighting, juga flow gambar yang harus bercerita dan ngga boleh terputus (continuity). Gue yang semula nonton film cuma berdasarkan content ceritanya, sekarang memperhatikan juga sisi gambarnya, juga pengambilan angle-2 kameranya. Dan terus terang, film-film India yang sekarang bagus banget menurut gue, artistik dan eksotik. Dulu gue yang suka pundung kalo ada orang nonton film India, karena ceritanya yang norak dan ngga masuk akal kayak mayoritas sinetron Indonesia, jadi lebih berkompromi nonton sampai abis asal gambarnya bagus.

Dan ternyata setelah dipersempit, gue tertarik dengan pembuatan film dokumenter, karena selain gambar, sisi jurnalistiknya juga ngga boleh hilang lewat narasi yang dibacain. Letupan-letupan gairah gue untuk menulis bisa tersalurkan disini. Dan sebenernya, peluang untuk membuat film dokumenter gede banget, ngeliat budaya kita yang kaya dan SDM yang menggarap belum terlalu banyak (karena umumnya bagi penyandang dana, ngga cepat menghasilkan duit, ketimbang bikin sinetron atau lainnya). Sebenernya banyak yang bisa diexplore dan diexpose, asal ada niat.

Sebentar, gue mau mimpi dulu...
Gue pengin bisa bikin program-2 seperti di NG atau DC itu. Mengekspos keragaman budaya Indonesia, encourage people biar cinta sama negerinya lewat gambar-gambar yang gue ambil, kasih informasi yang jujur dan berbobot dengan gambar-gambar yang dramatis, sehingga orang-2 Indonesia ngga berantem lagi dan mulai mikir ke depan, bangun negerinya, dan ngga dikacung-2 in lagi dimana-mana. Negeri ini terlalu berharga untuk dirubuhkan bangsanya sendiri...*sigh*

Ah, jadi sedih gue...
Sungguh suatu mimpi yang mahal meskipun toh ngga bayar untuk hanya memimpikannya...

No comments: