Thursday, December 19, 2002

Baduy World, A Jewel Inside


Seru deh, tadi kedatengan tamu agung; Pak Sardi, Pak Sangsang, Pak Ralim, dan Sangsang, ke kantor sekitar jam 3 sore. Who the hell they are??? Mereka itu orang-orang Baduy Dalam dari Banten sana!! Hah? Ngapain mereka sih? Wah pokoknya seru!!

Seperti pada umumnya orang Baduy Dalam yang pantang naik kendaraan umum, mereka dateng dari pedalaman sana ke kantor di Pejaten, dengan JALAN KAKI! Iyah, jalan kaki, selama 2 HARI dari Banten motong jalur lewat Parung, hanya untuk bersilatuhrahmi sama kita!! Huaaa...apa ngga terharu tuh dengernya?? Ini karena tempo hari sebelum Lebaran, tim INDRA (Produser, Reporter, Kameraman, Asisten Kameraman, Driver, dll) berangkat ke Banten selama seminggu untuk meliput pariwisatanya, termasuk suku Baduy, untuk program baru kita (dan ini bikin gue SIRIK abis, karena meski udah memohon-mohon untuk dikirim kesana, tetep gak bisa karena harus ngeliput Maestro!! *nangis bombay*). Biar disana ujan terus, jalan kaki, bawa peralatan perang, naik turun hutan, nyebrang sungai, tanpa listrik dan telepon, TETEP AJA BIKIN SIRIK!!! Huaaaa....mauuuuu!! (Kata Mas Yuyun sang produser; "Nanti kamu ngga dapet-dapet pacar kalo liputan ke luar kota terus!!" Ih! apa hubungannya??).

Sebelum pulang, Yuli, reporter INDRA, dianjurin untuk kasih kartu nama ke Pak Sardi yang jadi salah satu 'pemeran' program ini. Kata guide-nya, "Tunggu aja, pasti mereka akan dateng." Dan memang, siang tadi jam satu, kita semua surprise dapet telpon, dikasih tau bahwa mereka udah di Fatmawati sekarang dan sedang menuju ke kantor. Lebih surprise lagi, karena mereka bela-belain dateng dengan jalan kaki itu.

Hihi...kita kayak orang norak deh tadi, semua orang dengan mata berbinar-binar mengepung Pak Sardi dkk, dan membombardir dengan pertanyaan-pertanyaan. Mungkin mereka pada mikir, ih kampungan banget sih nih orang-orang kota, kayak kagak pernah liat manusia! Well, yea, emang bener mereka unik banget, dan sangat menarik untuk diketahui kehidupannya. "Pak, kalo begini boleh ngga? kalo begitu gimana? Apa aja sih disana itu? Ngapain aja? Artinya apa? Terus Pak? Terus?" Waah...rame aja pokoknya. Pak Sardi dkk cuma mesem-mesem aja ngeliat 'kepolosan' kita :)

Mereka dateng dengan ikat kepala putih yang namanya Telekung, berbaju katun putih yang disebut Jamang, dan celana pendek sedengkul yang namanya Samping. Masing-masing menggendong karung putih di punggung ala backpackers, yang isinya ternyata souvenir-souvenir hasil kerajinan tangan mereka seperti syal panjang (mirip Ulos Batak), gelang, cincin, dan topi kupluk dari akar-akaran, baju baduy, sisir kayu, macem-macem. Bahkan tempat hape dari akar-akaran juga ada! "Waah...bapak ternyata ngikutin perkembangan jaman juga yah?", dengan kurang ajar gue nyelutuk. "Ya abis banyak wisatawan yang suka nanyain," katanya. Dan mumpung kesempatan lagi disini, gue boronglah 2 syal, 3 gelang, 1 baju Baduy, dan sisir! hehe...mana ada barang beginian yang punya di Jakarta! (eh, lagian ngapain juga punya Dis!! ;)). Dan tau ngga, mau beli disini atau di Baduy sana, harganya tetep sama bo', makanya semua heboh dan kalap! *ngebandingin sama harga Pasaraya*

Ada perbedaan antara suku Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam selalu memakai ikat kepala dan baju warna putih, sedangkan Baduy Luar warna hitam. Orang Baduy Dalam yang dianggap melanggar pantangan berat, akan dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam, dan mereka inilah yang dinamakan Baduy Luar. Tetapi sebelum keputusan itu keluar, ada waktu 40 hari bagi si pelanggar untuk memilih, apakah akan kembali mengikuti peraturan adat Baduy Dalam atau memilih menjadi Baduy Luar. Pilihan ini menjadi pilihan terakhir yang tidak bisa diubah lagi (kecuali dengan musyawarah). Jadi ngga ada tuh istilah Tobat Sambel. Pantangan-pantangan yang harus dipatuhi, antara lain; tidak boleh naik kendaraan, tidak boleh merokok, tidak boleh cerai, tidak boleh pakai alas kaki (jadi mereka udah jalan kaki 2 hari, NYEKER pula!), tidak boleh kawin di luar suku, tidak boleh makan dari bahan beling, pakaian harus katun, tidak boleh merubah alam (yang panjang tidak boleh dipendekkan, yang pendek tidak boleh dipanjangkan), dll. Orang yang menjadi 'pusat' (*CMIIW) dari komunitas Baduy Dalam dinamakan Pu-un. Ia inilah yang mengeluarkan keputusan, menjadi tetua, dan mengetahui setiap aktivitas komunitasnya.

Suku Baduy Dalam yang memiliki pekerjaan utama meladang, memiliki 90 KK, tersebar di 3 desa daerah Cibeo. Daerah Baduy Dalam dan Baduy Luar dibatasi dengan jembatan Kali Ciujung. (Detil lokasi gue kurang tau lagi). Suku ini menikah dengan kalangan mereka sendiri, dimana orang tua sangat berperan dalam menjodohkan anak-anaknya. Tidak jarang karena terjadi perkawinan antara saudara (Incest Taboo), mengakibatkan banyak bayi dilahirkan dengan bibir sumbing atau meninggal. Usia menikah rata-rata pria Baduy Dalam adalah 19 tahun, sedangkan perempuannya 15 tahun. Saat menikah, pihak pria akan memberikan 'seserahan' berupa pakaian atau peralatan makan, lalu akan diikuti dengan upacara khusus (yang sayangnya tidak boleh diabadikan kamera!). Ada yang menarik dari cara mereka membatasi jumlah kelahiran anak, yaitu dengan melakukan upacara Nyareatan, yaitu dengan memakan daun-daunan yang dibacakan mantera sebelumnya (umumnya upacara yang dilakukan berisi pantun yang diiringi nyanyian dan musik dari alat musik yang mereka buat sendiri. Saat gelap, nyanyian ini cukup menghadirkan suasana magis yang mencekam).

Dalam pendidikan, orang tua Baduy Dalam tidak boleh menyekolahkan anak-anaknya ke luar maupun mendatangkan guru untuk mengajarkan, karena beranggapan pekerjaan mereka di dunia adalah meladang. Karena itu, jarang orang Baduy Dalam yang bisa membaca dan menulis. Pendidikan yang diperoleh hanya dari orang tua mereka saja.

Meskipun dipengaruhi kuat oleh agama Hindu, Baduy Dalam juga terpengaruh dengan ajaran lain seperti adanya kewajiban bagi anak laki-laki untuk disunat, biasanya pada saat umur 5 tahun, sedangkan anak perempuan umur 3 tahun (*CMIIW). Dan seperti halnya pada bulan Ramadhan, pada bulan tertentu, mereka melakukan puasa 1 kali dalam sebulan, berturut-turut selama 3 bulan, yang waktunya ditentukan oleh Puun. Mereka tidak makan dan tidak sahur dari malam sampai malam berikutnya.
Sedangkan jika ada penduduk yang meninggal, mereka melakukan upacara selamatan sampai hari ketujuh saja, yang dilakukan pada hari pertama, ketiga, dan ketujuh. Meskipun dimakamkan di lokasi khusus, setiap makam tidak memiliki tanda apapun, dan tanah pemakaman boleh digunakan untuk berladang setelahnya.

Oya, sayangnya, meskipun boleh mengunjungi pemukiman mereka, orang luar hanya boleh menginap satu malam saja, selebihnya harus menetap di luar desa Baduy Dalam. Sedangkan orang bule, chinese, dan afro, dilarang masuk, hanya sampai perbatasan Baduy Luar aja.

*CMIIW=Correct Me If I'm Wrong
----------------------------------------

Semangat denger cerita mereka dalam menjalani kehidupannya sehari-hari; sangat jujur, ngga macem-macem, dan konsekwen terhadap pilihannya. Meskipun mereka bisa saja melanggar peraturan tanpa diketahui Pu-un, mereka tetap akan mengaku dan siap menerima sangsi apapun. Mereka menganggap, apa yang ada di hadapan mereka, berikut peraturan-peraturannya, adalah sesuatu yang memang begitu adanya. Jika ingin keluar dari norma yang berlaku, maka mereka bebas keluar dengan konsekwensi mereka sendiri. Semuanya taat untuk tidak menggadaikan peraturan adat demi kepentingan sendiri.

Cuma sekitar sejam mereka di kantor. Sempet juga ngeliat hasil liputan kemarin yang kebetulan banget udah kelar saat mereka dateng. Seneng banget pokoknya kedatengan mereka semua. Semuanya berlangsung akrab dan hangat. Pak Sardi juga mengundang kita semua untuk dateng kalo dia ngawinin anaknya setelah panen nanti (sekitar 6 bulan lagi). WAAAHHH, it'd be a different interesting story tuh! Harus ikut!! *komat-kamit berdoa biar diajak* :)) Dari Pejaten mereka lalu menuju ke Mampang Prapatan untuk 'menjenguk' orang lagi, kemungkinan seminggu di Jakarta sebelum balik lagi ke pedalaman Baduy (duh, kebayang gempornya jalan 2 hari buat perjalanan pulang aja!).

Well, what a great day I wish I could have again! Besok pagi liputan Farida Oetoyo di rumahnya, untuk profil dirinya sebagai maestro di bidang seni tari modern, dan siangnya liputan dan stock shot di Galeri Cemara 6. Ada diskusi tentang karya-karya maestro seni kriya (keramik), Hildawati. Sayang sekali kondisi Bu Hilda sangat memprihatinkan karena menderita kanker tulang belakang, jadi kemungkinan besar wawancaranya nunggu kesehatannya pulih. Seneng akhirnya ada kerjaan juga di kantor setelah selama seminggu agak-agak nyantai (sekalee!), sampe gue datengnya jam 12 siang terus! (Bah! enak kali!! ;))

Well, have a great day for tomorrow, People! Selamat Pagi...:))


Ps: Tadi sore heboh sendiri, got a shocking message. But it's clear now. Fiuuh...

No comments: