Tuesday, June 24, 2003

Look Behind Your Shoulder, There Might Be A Star Shining


Tadi pulang kantor mampir bentar ke Aksara bareng Novi ma Bombom, liat pameran hand-writing yang pernah gue posting itu. Ternyata cuma tinggal beberapa aja yang masih di pajang di tembok. Gak asik banget. Cuma tentang Golden Letters aja yang menarik minat gue, tentang korespondensi antara Raja-raja Jawa dan Kesultanan Bone dengan Pemerintah Kolonial Inggris. Seru juga, mereka nulis pakai tulisan Arab tetapi dengan bahasa Melayu. Melayu yang di-Arab-kan, Arab yang di-Melayu-kan. Terus ada juga surat-surat Raffles ke Raja Bali yang minta dukungan untuk mendukung Pemerintahan Inggris dan tidak mendukung Belanda yang mau masuk ke Indonesia lagi. Raffles menulis dengan bahasa Melayu Arab juga.

Hmm...menarik sekali yah Indonesia itu. Semakin tahu, semakin banyak yang ngga gue ketahui ternyata. Gue pernah ngobrol-ngobrol ngga sengaja sama temen sekantor yang gue akui hebat banget pengetahuan tentang sejarah dan silsilah Indonesia-nya. Awalnya kita lagi bicarain tentang Gus Dur yang katanya ngaku keturunan Chinese. Terus dia ceritain tentang asal-muasal tanah ini yang akhirnya bernama Indonesia.

Dari mulai cerita tentang perpecahan kerajaan Majapahit, Singosari, dan Demak, di daerah Jawa Tengah. Terus tentang Perjanjian Giyanti antara Belanda dengan Kesultanan Jogja, dimana memicu pecahnya Kesultanan Jogja menjadi Jogja dan Surakarta. (Bisa dilihat disini, mana yang nasionalis, mana yang jadi beking Belanda).

Wah pokoknya seru banget denger cerita temen gue itu, jadi keinget saat-saat di SD. Tentang Ken Arok dan Aryo Penangsang aja dia masih inget! Belum lagi asal-usul cerita tentang masyarakat Tengger di daerah Bromo yang masih beragama Hindu, meskipun mereka bukan orang Bali. Mereka ini dulunya penduduk kerajaan Majapahit yang setelah dikuasai oleh Kerajaan Demak, menolak ajaran Islam dan memilih pindah.

Orang Baduy di Banten juga salah-satunya yang dulu menolak masuknya pengaruh Islam di tanah Sunda, setelah Kerajaan Padjajaran pecah. Ada lagi ceritanya, tapi gue lupa. Hmm..bisa jadi nenek moyang Gus Dur ada yang berdarah Mongolia yang memang pernah mendarat di sini. Atau mungkin dari pedagang-pedagang Cina yang kemudian bercampur dan berasimilasi dengan penduduk asli. (Gue aja kecipratan darah Arab dan Cina!)

Kalau dihubung-hubungin, pantes aja orang-orang kita ngga pernah bisa yang namanya lepas dari unsur mistik dan klenik. Lah wong asalnya juga animisme-dinamisme, percaya sama roh-roh. Tapi gila juga sebenernya kalau mau digali dari sisi budayanya. Budaya kita kaya banget! Apa coba yang ngga ada disini? Orang Kutub mungkin, berhubung dia ngga kuat aja tinggal di alam tropis!

Setelah denger cerita temen gue itu, jadi mikir juga tentang asal-usul gue sendiri. Menarik juga mikirin kehidupan dan peradaban orang dulu itu bagaimana. Apa yang mereka lakukan sehari-hari, apa yang terjadi, lalu apa yang kemudian melenyapkannya. Rasanya seperti dongeng, tapi harus percaya bahwa itu pernah ada dari yang masih tersisa di museum-museum.

Tapi kenapa yah, makin kesini, gue kok makin pesimis kalau pelestarian budaya itu akan dianggap penting. Dan rasa-rasanya memang tidak yah? Setidaknya dari pemerintah dan swasta sendiri. Sejarah keagungan dan peradaban kita semakin terkubur dalam-dalam di bawah pilar-pilar bernama pembangunan masa depan dan modernisasi.

Hmm...kalau akarnya saja kita tidak tahu dari mana dan dimana, bagaimana kita akan menjulang tinggi menjadi dahan-dahan yang kokoh? Oh Indonesia, nasibmu...

No comments: