Wednesday, March 26, 2003

" There's no Unconditional Love? Tell me! "


Ada yang unik dari setiap hubungan gue dengan laki-laki yang (pernah) dekat dengan gue, sebagai teman atau sebagai gebetan. Setiap dari mereka memiliki karakter berbeda, itu pasti. Tetapi entah kenapa, gue selalu bisa menyesuaikan gaya bicara/menulis/bersikap dari setiap orang.

Gue bisa santun, bisa konyol, nakal, serius, wise, halus, atau asal, tergantung dari karakter orang itu terhadap gue. Gaya gue akan berbeda antara satu dengan yang lain, dan tidak bisa diterapkan pada orang dengan gaya yang berbeda. Dan setiap orang, disadari atau tidak, memiliki ujaran dan gaya yang khas, yang mungkin tidak disadari oleh orang tersebut. Menarik, karena gue bisa leluasa mengekspresikan satu sisi secara habis-habisan, dari bermacam-macam karakter yang gue punya.

Mungkin seperti bunglon yang tidak punya pendirian. Makanya terkadang hal ini sering bikin pusing kepala, karena gue merasa tidak punya satupun karakter yang dominan/kuat pada diri gue, semua rasanya ada meskipun sedikit-sedikit. Gue jadi sering merasa, gimana sih sebenernya gue ini? Kok ya se-plin-plan ini.

Errgh...kenapa sih kok ujug-ujug gue ngomongin laki-laki gini? Begini, hubungan dari setiap orang yang unik ini, terkadang tidak berjalan seperti yang gue mau. Kadang kedekatan kita berubah dari sekedar pertemanan biasa lalu berubah jika salah satu tiba-tiba punya ekspektasi berbeda dari sebelumnya, berbentuk ungkapan perasaan, tersirat atau langsung, untuk lebih dari sekedar teman. Ekspektasi itu terkadang datang dari mereka, tapi tidak jarang datang dari gue sendiri.

Hubungan tersebut tidak akan menjadi masalah jika kedua pihak mempunyai ekspektasi yang sama. Kalau itu yang terjadi, case closed, tidak usah dibahas. Nah, apa jadinya kalo cuma satu yang mempunyai ekspektasi, sedang yang lain tidak?

Hmm...kembali lagi, semuanya tidak akan menjadi masalah kalau kedua pihak bisa bersikap 'sewajarnya', back to pertemanan kalo approaching ke arah serius tidak berhasil. Yang terjadi, lontaran perasaan itu tidak jarang malah merubah hubungan pertemanan yang sebelumnya ada. Semuanya berubah. Dari cara bicara, menulis, atau bersikap. Ada kecenderungan menghindar, menjauh, kemudian menghilang. Hubungan pertemanan yang sudah ada berubah menjadi tidak eksis lagi. Mungkin ada perasaan 'tertolak' atau 'terluka' yang bisa menjadi alasan.

Banyak terjadi, akhirnya gue kehilangan teman-teman terbaik yang dulu pernah dekat, hanya karena salah satu dari kita menyatakan perasaannya. Tetapi, terus terang, gue selalu merasa menjadi 'korban' dalam hal ini, karena selalu gue yang kemudian ditinggalkan. Ngga tau kenapa. Apakah terlalu menyakitkan untuk berteman lagi dengan gue? Atau, apakah menakutkan mengetahui lontaran ekspektasi gue, yang terkadang tersamar atau malah begitu blak-blakan?

Penolakan bagi gue tidak menjadi masalah, sepanjang orang yang menolak itu memperlakukan gue dengan sewajarnya, sebagai teman. Lebih 'mendingan' ditolak cinta ketimbang kehilangan temen yang baik. Tapi yang ada, dan ini menyakitkan, gue kerap ditolak sebagai teman setelah sebelumnya berurusan dengan yang namanya 'ekspektasi' ini, ngga peduli gue yang menolak atau malah yang ditolak...*sigh*...apa ya salah gue? Hanya karena hal 'kecil' seperti ini, gue malah kehilangan sparing partner untuk berdiskusi, berbagi, bercanda, dan mengekspresikan perasaan. Ah, damn!

Lama kelamaan, diperlakukan seperti ini terus-menerus berpengaruh besar pada diri gue. Setiap menemukan orang yang cocok, gue takut pertemanan itu akan berubah bentuk sejalan dengan waktu dan intensitas hubungan itu sendiri. Gue jadi ngga bisa bebas mengekspresikan rasa sayang gue, care, attention, atau minta perhatian ketika gue butuh. Gue jadi bukan 'gue' lagi, tapi batang pohon pisang yang ngga punya jiwa, dingin dan mati.

Apa memang ngga boleh yah melibatkan cinta yang bukan 'cinta' sebenernya terhadap teman yang dianggap spesial? Apa sama temen itu harus yang 'standar-standar' dan 'normal-normal' aja? Apa memang salah? Apa perhatian hanya boleh ditunjukkan ke sobat perempuan aja? Yang gue rasa, gue malah ngga sehangat dan segitu bela-belainnya kalo ke sobat perempuan.

Gue baru inget, ketika dulu sering dicomplain mantan gue, karena dia merasa gue lebih perhatian sama sahabat-sahabat gue dibanding ke dia sendiri yang lempeng-lempeng aja. Dia takut para sahabat ini jadi salah sangka terhadap perhatian gue dan ge-er menyangka gue jatuh cinta. Padahal, gue juga yang ngga macem-macem dan ngga take advantage apapun. Cuma, cinta sama sahabat terasa lebih tulus dan tidak mengharapkan apa-apa, itu aja.

Khusus untuk orang yang ketiban sial jadi gebetan gue, ketika kemudian hubungan kita menjauh, yang tersisa dan membuat sesak adalah ketika secara tiba-tiba gaya mereka, ekspresi mereka saat berbicara/menulis/bersikap melintas di pikiran dan hati gue. Terkadang, hanya dari satu kata ujaran, yang menurut gue khas, menjadi pemicu gue ingat kembali. Dan mengetahui bagaimana mereka memperlakukan gue, gue jadi bete, hopeless.

----- pause, tarik napas dulu -----

Kenapa sih gue kok ngedumel ngga karuan seperti ini? Hmmm...Karena baru-baru ini gue merasa ditinggalkan (lagi). Pesan gue ngga pernah dibales, pun menerima pesan-pesannya seperti dulu. Ok, fine, moga-moga cuma ketakutan gue aja. Hanya saja, tiba-tiba aja ucapan khas orang ini tiba-tiba melintas, dan cukup menyakitkan untuk mengingatnya lagi. Gue terlanjur patah arang, bukan karena ekspektasi gue yang tidak berbalas baru-baru ini, tapi karena pertemanan gue dengan dia terancam bubar!

No comments: